by S Deasy · 2014 · Cited by 9 — PADA PERKARA PERDATA DI PENGADILAN. Oleh : Deasy Soeikromo1. A. PENDAHULUAN. Hukum acara, khususnya Hukum Acara Perdata, tidak terlalu.

117 KB – 13 Pages

PAGE – 1 ============
Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan Vol. II /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 124 PROSES PEMBUKTIAN DAN PENGGUNAAN ALAT – ALAT BUKTI PADA PERKARA PERDATA DI PENGADILAN Oleh : Deasy Soeikromo 1 A. PENDAHULUAN Hukum acara, khususnya Hukum Acara Perdata, tidak terlalu mendapat perhatian khusus dari para sarjana hukum kita dibandingkan dengan bidang ilmu hukum lainnya dan tidak pula mendapat tempat yang layak dalam lingkungan pendidikan ilmu hukum yang diselenggar akan di Indonesia. Padahal bila dilihat sebenarnya Hukum Acara Perdata tidaklah kurang pentingnya dengan hukum lainnya. Demi tegaknya hukum, khususnya Hukum Perdata materiil, maka diperlukan Hukum Acara Perdata. Hukum Perdata materiil tidak mungkin berdir i sendiri lepas dari Hukum Acara Perdata, sebaliknya Hukum Acara Perdata tidak mungkin berdiri sendiri lepas dari pada Hukum Perdata materiil. Kedua – duanya saling memerlukan satu sama lain dan memiliki keterkaitan dalam perannya menegakkan hukum di masyara kat. Pembangunan hukum tidak hanya di tangan pembentuk undang – undang saja, tetapi hakimpun tidak kecil peranannya dalam pembangunan hukum. Bahkan hukum itu dalam operasionalnya banyak diciptakan oleh hakim. Bagi hakim hukum acara merupakan pegangan pokok atau aturan permainan sehari – hari dalam memeriksa perkara. Hukum Acara Perdata itu tidak hanya penting di dalam praktek peradilan saja, tetapi mempunyai pengaruhnya juga di dalam praktek di luar peradilan sehingga Hukum Acara Perdata perlu mendapat perhat ian selayaknya, dipahami dan dikuasai. Perkara perdata di pengadilan, sering terjadi permasalahan dan gugatan balik atau upaya banding terhadap keputusan – keputusan yang dianggap kurang menguntungkan terhadap salah satu pihak yang berperkara di pengadila n. Untuk itulah diperlukan alat – alat bukti yang kuat yang dapat memperkuat putusan hakim dalam suatu perkara sehingga kebenaran perkara secara materiil dapat dipertanggungjawabkan. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah proses pembuktian perkara perdata di peng adilan ? 2. Bagaimanakah penggunaan alat – alat bukti pada perkara perdata di pengadilan ? C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang termasuk jenis penelitian normatif, di mana didalamnya penulis meneliti dan mempelajari norma yang te rdapat dalam peraturan perundang – undangan ataupun norma 1 Dosen Pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado

PAGE – 2 ============
Vol. I I /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan 125 yang mengatur tentang proses pembuktian dan penggunaan alat – alat bukti pada perkara perdata di pengadilan sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Demi m elengkapi dan mendukung serta memperjelas analisis terhadap peraturan – peraturan perundang – undangan diteliti juga tulisan – tulisan dari para ahli yang terdapat dalam kepustakaan. Dalam pendekatan ini meliputi dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan hukum acara perdata. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan metode deduksi dan induksi yang dilakukan secara berganti – gantian bilamana perlu untuk mendukung pembahasan dalam tulisan ini. D. PEMBAHASAN 1. Proses Pembuktian Perkara Perdata Dalam kaidah hukum yang ditentukan itu, setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikian rupa, sehingga kepentingan anggota masyrakat lainnya akan terjaga dan dilindungi dan apabila kaidah hukum tersebut dilanggar, maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau hukuman. Perlu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan kepentingan adalah hak – hak dan kewajiban – kewajiban perdata, yang diatur dalam Hukum Perdata materiil. Sebagai lawan Hukum Perdata materiil adalah Hukum Perdata formil. 2 Hukum Acara Perdata juga disebut Hukum Perdata formil, yaitu mengatur cara bagaimana melaksanakan hak – hak dan kewajiban – kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perdata materiil. 3 Burgerlijk Wetboek voor Indonesiae disingkat BW dalam Buku Ke – empat dan Reglement Catat an Sipil memuat pula peraturan – peraturan Hukum Acara Perdata, kaidah – kaidah mana sejak semula hanya berlaku untuk golongan penduduk tertentu, yang baginya berlaku Hukum Perdata barat. Hukum Acara Perdata terdapat dalam Undang – undang No. 14 Tahun 1970 tenta ng Ketentuan – ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 No. 74), Undang – undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 No. 73), Undang – undang Rpublik Indonesia No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 No. 20), Undang – undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49) dan dalam Undang – und ang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta peraturan pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975). Sedang yang mengatur persoalan banding, khususnya 2 Retnowulan Sutantio, Iskandar Oeripkartawinata, H ukum Acara Perdata Dalam Teori d an Praktek , Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 1. 3 R. Subekti, Hukum Acara Perdata , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta Jakarta, 1977, hal. 1.

PAGE – 3 ============
Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan Vol. II /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 126 untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Undang – undang 1947 No. 20 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan, yang mulai berlaku pada tangal 24 Juni 1947. Berdasarkan yurisprudensi Undang – undang 1947 No. 20, kini berlaku juga untuk wilayah di luar Jawa dan Madura. 4 Selain itu, untuk beberapa masalah yang tidak diatur dalam HIR dan RBg , apabila benar – benar dirasakan perlu dan berguna bagi praktek pengadilan, dapat peraturan – peraturan yang terdapat dalam Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering , disingkat RV. Misalnya, perihal penggabungan (voeging) , penjaminan (vrijwaring) , intervens i (interventie) dan rekes sipil (request civieel) . 5 Juga surat Edaran Mahkmah Agung, disingkat SEMA, khusus ditujukan kepada pengadilan – pengadilan bawahannya (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri), yang berisikan instruksi dan petunjuk – petunjuk bagi para hukum dalam menghadapi perkara perdata, mempengar uhi Hukum Acara Perdata. Misalnya SEMA No. 02 Tahun 1964 yang berisikan instruksi penghapusan sandera (gijzeling) , sedang SEMA No. 13 Tahun 1964, SEMA No. 06 Tahun 1975 dan No. 03 Tahun 1978 memberi petunjuk tentang putusan yang dapat dijalankan lebih dahu lu (uitvoerbaar bij voorraad) . 6 menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat – syarat bukti y ang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. 7 Su pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena be rlaku bagi s e tiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Untuk membuktikan dalam arti konvensional, di sini pun berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian nisbi atau relatif sifatnya dan membuktikan dal am arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. 8 Pada suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan 4 Ridwan Syaharani, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia , Alumni, Bandung, 1991, hal. 414. 5 Supomo, Majalah Perhimpunan Ahli Hukum Indonesia (PAHI) , 1953 No. 1, hal. 53. 6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Edisi Ke – II, Cet. Ke – 1, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 45. 7 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri , Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 188. 8 Sudikno Mertokusumo, Loc – Cit , hal. 5.

PAGE – 4 ============
Vol. I I /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan 127 benar – benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila pengugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil – dalil nya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil – dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenu hnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara pihak – pihak yang berperkara akan diwajibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak pengggugat atau sebaliknya, yaitu pihak tergugat . Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. 2. Penggunaan Alat – alat Bukti Pada Perkara Perdata Bukti – bukti apa saja yang dapat dihaturkan di persidangan? Perihal tersebut di jawab oleh Pasal 164 HIR ya ng menyebutkan 5 macam alat – alat bukti, ialah : a. Bukti surat; b. Bukti saksi; c. Persangkaan; d. Pengakuan; e. Sumpahan. Pada prakteknya, masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang – barang penggugat yang di rusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakanny a itu. Perihal pengetahuan hakim tersebut di atas, Mahkamah Agung dengan keputusannya tertanggal 10 April 1957 No. 213 k/Sip/1955 telah memberi pendapatnya – hakim berdasarkan pasal 138 ayat (1) bersambung dengan pasal 164 Herziene I ndonesisch Reglement tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, sedang penglihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan mpak Dalam perkara tersebut di atas, hakim yang bersangkutan mempertimbangkan dan menetapkan sendiri perihal perbedaan yang menurut penglihatannya nampak antara tanda tangan yang terdapat di atas sehe lai surat bukti dan tanda tangan yang bersangkutan yang terdapat pada surat kuasa kepada kuasanya. Hal – hal atau keadaan yang diketahui oleh hakim dari pengetahuannya di luar sidang, misalnya bahwa tergugat sesungguh – sungguhnya adalah anak almarhum, bukan m erupakan pengetahuan hakim,

PAGE – 5 ============
Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan Vol. II /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 128 melainkan pengetahuan bapak atau ibu hakim pribadi, yang secara kebetulan mengetahui hal tersebut. Atas dasar hal tersebut, penulis kurang sependapat dengan pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh Mahkamah Agung dalam putusann ya tertanggal 1 Juni 1955 Reg. No. 53 K/Sip/1952 yang berbunyi : Menimbang, bahwa Mahkamah Agung mengetahui sendiri, bahwa menurut Hukum Adat di Bali, I Made Sudjana tersebut sebagai satu – satunya anak laki – laki adalah pula satu – satunya ahli waris dari alma rhum bapaknya I Made Rama, sehingga ahli waris inilah, asal saja ia telah cukup umur, adalah yang berhak untuk memajukan gugatan peninggalannya almarhum bapaknya. Mungkin yang dimaksud oleh Mahkamah Agung dalam putusan tersebut di atas adalah, bahwa menuru t Hukum Adat di Bali, anak laki – laki satu – satunya adalah pula ahli waris satu – satunya dari almarhum ayahnya. Jelas bahwa apabila hal itu yang dimaksud, maka ini bukan merupakan pengetahuan hakim. Bandingkan pertimbangan hukum yang dipakai oleh Mahkamah Ag ung dalam putusannya tertanggal 1 Juni 1955 No. 53 K/Sip/1952 ini, dengan ketentuan pasal 79 Undang – undang Mahkamah Agung Indonesia No. 1 Tahun 1950 (Undang – undang tanggal 6 Mei 1950 No. 1 yang dinyatakan sudah tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 70 Undan g – Pasal 138 HIR mengatur bagaimana cara bertindak, apabila salah satu pihak menyangkal keabsahan dari surat bukti yang diajukan oleh pihak lawan. Ap abila terjadi demikian, maka Pengadilan Negeri wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal tersebut. Ayat (2) sampai (5) dari Pasal 128 HIR mengatur, apa yang harus dilakukan oleh hakim dan oleh penyimpan surat tersebut, apabila dalam penyelidikan ini diperlukan pula surat – surat resmi yang berada di tangan pegawai yang khusus ditunjuk oleh undang – undang untuk menyimpan surat – surat tersebut. Jika ada sangka yang beralasan, bahwa surat tersebut adalah palsu atau dipalsukan oleh orang yang masih hidup, m aka surat tersebut dikirimkan kepada jaksa untuk dilaksanakan penuntutan sebagaimana mestinya. Apabila terjadi hal itu, pemeriksaan p erkara perdata, untuk sementara ditangguhkan, sampai perkara pidananya diputus. Dalam praktek bantuan dari Bagian penyelidi kan Markas Besar Angkatan Kepolisian suka diminta untuk memperbandingkan tulisan atau tanda – tangan yang satu dengan yang lainnya dan untuk memberi pendapat apakah tanda tangan yang bersangkutan palsu atau tidak. Selain itu sering juga dilakukan pemeriksaan terhadap cap jempol yang konon dipalsukan. Proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang penting dan utama. Terutama dalam lalu – lintas perdagangan seringkali sengaja disediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila di kemudian hari timbul suatu pers elisihan, bukti mana adalah berupa sehelai surat. Untuk penerimaan sejumlah barang, biasanya orang harus menandatangani surat tanda penerimaan barang yang

PAGE – 6 ============
Vol. I I /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan 129 dalam istilah sehari – harinya disebut faktur. Apabila jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri m elakukan suatu pemanggilan pihak – pihak atau pemanggilan saksi – saksi, melakukan pensitaan, sebagai bukti bahwa ia telah melakukan tugas yang diperintahkannya itu, dibuat relas atau berita acara. Di samping itu ada surat menyurat yang diadakan antara 2 oarng atau lebih, baik hal itu dilakukan sehubungan dengan cinta kasih atau dalam rangka perdagangan, jelaslah sudah bahwa dalam praktek dikenal macam – macam surat yang dalam Hukum Acara Perdata dibagi dalam 3 kelompok, dengan perkataan lain Hukum Acara Perdata mengenal 3 macam surat ialah : a. Surat biasa; b. Akta otentik; c. Akta di bawah tangan. Perbedaan dari ketiga surat ini, yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk, itu tergantung dari cara pembuatannya. Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti. Apabila kemudian surat itu dijadikan bukti, hal itu merupakan su atu kebetulan saja. Dalam kelompok ini termasuk surat – surat cinta, surat – surat sehubungan dengan korespondensi dagang dan sebagainya. Berbeda dengan surat biasa, sehelai kata dibuat dengan sengaja, untuk dijadikan bukti. Belumlah tentu bahwa akta itu, pada suatu waktu akan dipergunakan sebagai bukti di persidangkan, akan tetapi suatu akta merupakan bukti bahwa suatu kejadian hukum telah dilakukan dan akta itu adalah buktinya. Sehelai kuitansi, faktur merupakan akta, tergolong dalam kelompok c, ialah akta d i bawah tangan. Akta di bawah tangan dan akta otentik dibuat secara berlainan. Pasal 165 HIR memuat suatu definisi apa yang dimaksud dengan akta diperbuat oleh atau di hadapan pegawa i umum yang berkuasa yang membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam sur at itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dibuat. Ternyata bahwa ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibut di hadapan pegawai umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang sedangkan akta perkawinan dibuat di hadapan notaris. Pegawai umum yang dimaksu d di sini adalah notaris, hakim, jurusita, pegawai catatan sipil dan sebagainya, yang dibuat oleh yang bersangkutan sendiri. Pasal 165 HIR ditentukan, bahwa akta otentik merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian or ang yang mendapat hak daripadanya, tentang apa yang tersebut didalamnya perihal pokok soal dan juga tentang apa yang disebutkan sebagai pemberitahuan

PAGE – 8 ============
Vol. I I /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan 131 bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang tersebut atau bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di hadapan pejabat tadi. Akta tersebut kemudian harus dibukukan dalam buku khusus yang disediakan guna keperluan itu. Surat – surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pem buktian mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti bebas, dalam praktek surat – surat semacam itu sering dipergunakan untuk menyusun persangkaan. Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam Hukum Acara Perdata pembuktian dengan saksi sangat penting artinya, terutama untuk perjanjian – perjanjian dalam Hukum Adat, di mana pada umumnya karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat sehelai surat pun. Oleh karena bukti berupa surat tidak ada, pihak – pihak akan berusaha untuk mengajuka n saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil – dalil yang dimajukan di muka persidangan. Pada suasana Hukum Adat dikenal 2 macam saksi, yaitu saksi – saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa – peristiwa yang menjadi persoalan dan saksi – saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut. Yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang dilihat, didengar atau dirasakan sendiri, lagi pula tiap – tiap kesaksian harus d isertai alasan – alasan apa sebabnya, bagaimana sampai ia mengetahui hal – hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian. Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan, k arena hal itu adalah tugas hakim, saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja mem beri keterangan palsu saksi dapat dituntut dan dihukum untuk sumpah palsu menurut Pasal 242 WvS (KUHPidana). Mempertimbangkan nilai kesaksian Pasal 172 HIR kesaksian haruslah hakim memperhati kan benar kecocokan saksi – saksi yang satu dengan yang lain, persetujuan kesaksian – kesaksian dengan apa yang diketahui dari sebab yang kiranya dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan; segala sebab yang kiranya ada pada saksi – saksi untuk mencer itakan perkara itu cara begini atau begitu; segala hal ihwal yang boleh Berdasarkan putusan – putusan pengadilan pada umumnya terlebih dahulu dikemukakan dalil – dalil yang diakui, setida k – tidaknya yang tidak disangkal, baru kemudian meningkat kepada hal – hal yang merupakan persoalan. Dengan demikian putusan menjadi padat berisi dan hanya dalil – dalil yang menjadi dasar gugat dan disangkal saja, yang harus dibahas secara mendalam. Dari keten tuan pembuktian pengakuan di depan sidang ini, ternyata benar, bahwa dalam Hukum Acara Perdata tidak dicari kebenaran formil belaka. Di dalam praktek peradilan banyak perkara – perkara perceraian

PAGE – 9 ============
Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan Vol. II /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 132 bagi orang yang dahulu baginya berlaku Hukum Perdata barat dip utus berdasarkan pengakuan atau tidak dibantahnya dalil yang dikemukakan, sebagai dasar alasan ialah adanya perzinahan yang telah dilakukan oleh tergugat. Mungkin sesungguhnya tergugat tidak pernah melakukan perzinahan, akan tetapi hanya untuk memudahkan p erkara, agar supaya perkara tersebut dapat segera diputus, tergugat mengakui saja tentang adanya perzinahan yang didalilkan oleh penggugat. Yang belakangan ini dalam bahasa Belanda disebut , berasal dari perkataan yang berarti menyerah kan dalam hal ini menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terletak, bahwa pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikannya lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedang bagi pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara lisan, apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya pengakuan semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat – alat bukti lainnya. Pasal – pasa l dari HIR yang mengatur perihal sumpah adalah Pasal 155, 156, 158 dan pasal 177. Berbeda sengan perkara pidana yang tidak mengenal sumpah sebagai alat bukti, dalam Hukum Acara Perdata sumpah merupakan alat bukti yang cukup penting. Yang disumpah adalah s alah satu pihak, penggugat atau tergugat, oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri. Ada 2 macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak lawan. Baik sumpa h penambah maupun sumpah penutup bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan, oleh karenanya, keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpah tidak akan berani ber bohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadany a itu, apabila hal yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah tidak benar. Pasal 177 HIR menyatakan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud. Pasal 155 HIR mengatur perihal sumpah penambah, yang berbunyi : Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim,

PAGE – 10 ============
Vol. I I /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan 133 supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau supaya dengan itu jumlah uang yang ak an diperkenankan, dapat ditentukan. Dalam hal yang terakhir itu, haruslah Pengadilan Negeri menentukan jumlah uang, yang sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercayai karena sumpahnya. Berdasarkan redaksi ayat (1) di atas ternyata, bahwa sehubungan de ngan sumpah penambah terlebih dahulu harus sudah ada bukti, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna dan karenanya perlu ditambah dengan bukti yang lain. Sedang untuk mendapatkan bukti yang lain sudah tidak mungkin lagi, dengan lain perkat aan bukti yang sudah ada dan belum cukup itu, tidak bisa ditambah dengan bukti yang lain. Oleh karena sumpah itu adalah untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap itu, maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed) . Mahkamah Agun g dalam putusan tertanggal 17 Oktober 1962 No. 213 K/Sip/1962 menyatakan, bahwa sumpah tambahan justru untuk menambah suatu pembuktian, yang menurut undang – undang belum sempurna, agar menjadi sempurna. Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatanny a, hal itu berarti bahwa hakim yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas untuk menambah bukti tersebut dengan su mpah penambah. Pada prakteknya adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang telah ada dan belum cukup itu dengan sumpah penambah, melainkan hanya hakim sendiri yang, tanpa ada perm intaan dari pihak yang bersangkutan, karena jabatan, akan memerintahkan sumpah tersebut. Siapa yang akan dibebani sumpah itu ? Kecuali dalam sumpah penaksir, di mana selalu pihak penggugat yang akan disumpah, sumpah penambah lainnya dapat dibebankan kepada penggugat atau tergugat. Perkataan Pengadilan Negeri yang diuraikan dalam pasal 155 HIR tersebut di atas menurut hemat penulis tidak tepat lagi, karena dalam taraf pemeriksaan banding apabila dianggap perlu masih dapat dibebankan suatu sumpah penambah kep ada pihak – pihak. Ada kemungkinan, bahwa untuk meneguhkan baik penggugat maupun tergugat adalah anak angkat almarhum, kepada kedua belah pihak masing – masing dibebankan sumpah penambah, yang satu oleh Pengadilan Negeri dan yang lainnya atas perintah Pengadil an Tinggi dalam taraf banding. Apabila hakim akan menambah bukti tersebut dengan suatu sumpah penambah, maka dibuatlah suatu putusan sela, lengkap dengan pertimbangannya, yang memuat alasan sebabnya sumpah penambah kemungkinan akan meneguhkan dia

PAGE – 11 ============
Soeikromo D : Proses Pembuktian dan Penggunaan Vol. II /No. 1 / Januari – Maret /20 1 4 134 Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijaksanaan hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah. Oleh karena tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak akan memerintahk an kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak gugatan tersebut. Dalam taraf pemeriksaan banding, apabila hakim banding berpendapat lain, Pengadilan Tinggi leluasa, untuk memerintahkan sumpah penambah tersebut. Ada kemungkinan bahwa hakim Pengadilan Negeri telah memerintahkan kepada pihak tergugat untuk melakukan sumpah penambah, akan tetapi hakim pengadilan tinggi berpendapat lain dan justru pihak penggugat yang dibebani sumpah. Pernah pula terjadi bahwa berdasarkan sumpah pena mbah menolak gugat penggugat, kemudian putusan tersebut dibatalkan dan Pengadilan Tinggi yang menganggap bahwa dalil – dalil yang menjadi dasar gugat telah cukup terbukti, lalu mengabulkan gugat penggugat. Dalam hal orang yang dibebani sumpah penambah enggan untuk melakukannya atau belum sempat melakukan sumpah, lalu wafat, karena dalil gugatannya belum terbukti, ia harus dikalahkan. Timbul persoalan bagaimana apabila yang dibebani sumpah, telah menyatakan kesediaannya untuk disumpah guna melengkapi bukti – buk ti yang telah ada, hanya ia karena wafat, tidak sempat lagi untuk menambah bukti tersebut ? Menurut hemat penulis, apabila hal semacam itu terjadi, hakim harus mempertimbangkan persangkaan haki m, bahwa fakta yang hendak dikuatkan oleh sumpah tersebut benar – benar ada atau pernah terjadi. Oleh karena bukti yang telah ada dan belum lengkap itu, telah ditambah dengan satu persangkaan hakim lagi, maka pihak yang telah sanggup itu dapat dimenangkan. B erbeda dengan sumpah pemutus, sumpah penambah ini tidak boleh dikembalikan kepada lawannya. Sumpah penambah yang lainnya adalah yang disebut sumpah penaksir. Hal ini diatur dalam pasal 155 HIR bagian terakhir. Sumpah penaksir dilakukan untuk menentukan jum lah uang yang akan diperkenankan atau dikabulkan. Misalnya dalam hal telah terjadi kebakaran yang disebabkan oleh anak tergugat dan barang – barang penggugat musnah, sukar untuk menentukan kerugian yang diderita oleh penggugat begitu saja. Berdasarkan ayat ( 2) Pasal 155 HIR ternyata, bahwa sumpah penaksir hanya dapat dibebankan kepada pihak penggugat. Dalam istilah penggugat termasuk penggugat dalam gugat balasan, ialah penggugat dalam rekonpensi. Sumpah penaksir dalam bahasa Belanda disebut waarderingseed at au pula Aestimatoire eed . Sumpah penaksir banyak dilakukan untuk menentukan besarnya ganti rugi yang diminta penggugat, di mana tentang adanya kerugian telah terbukti, hanya tentang besarnya sukar untuk ditentukan secara

117 KB – 13 Pages