Eksistensi perempuan acapkali ditempatkan sebagai modal yang menandai perkembangan eprints.uns.ac.id/4578/1/Unlock-182580212201109351.pdf

84 KB – 13 Pages

PAGE – 1 ============
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eksistensi perempuan acapkali ditempatkan sebagai modal yang menandai perkembangan politik media di Indonesia. Representasi p erempuan menjadi komoditi utama reproduksi kekuasaan yang dikembangkan oleh industri media di Indonesia. Eksistensi perempuan adalah bentuk strategi perusahaan media untuk mendongkrak keuntungan, sehingga kemudian muncul narasi – narasi yang merupakan bentukan konstruksi realitas. Padahal kini, perempuan tak lagi menghuni dunia privat, namun juga sudah berani melepaskan traditional bounding dengan memasuki bidang publik. Ketika memasuki ranah publik inilah eksistensi perempuan direpresentasikan dalam bentuk yang bermacam – macam membentuk se buah konstruksi realitas. P emikiran yang dipahami selama ini, konstruksi media atas diri perempuan di sisi ekonomi, memang mampu membentuk economic capital , namun di sisi lain media justru semakin mengukuhkan diri sebagi representasi laki – laki. T anpa dis adari sebenarnya media juga telah memperkuat struktur patriarkal. Melalui narasi – narasi yang disusun media, ikatan tradisional perempuan dengan ranah privat, dengan segala atribut yang melekat pada sisi egasan orientasi pembedaan ikatan tradisional dengan laki – laki. Alhasil ada sejumlah narasi di media yang justru tidak membuat Semakin tegasnya pembedaan orientasi ini d ipengaruhi oleh pemaknaan, melibatkan universe of meaning yang lekat dalam kehidupan kita sehari – hari.

PAGE – 2 ============
2 Fenomena faktual yang terjadi pada sebagian teks berita korupsi di media massa di Indonesia juga memperlihatkan adanya penguatan terhadap makna perempua n yang dikonstruksikan oleh media. Perempuan dalam kasus korupsi seringkali mendapat ekspos berlebihan dari sisi fisik, dari sisi personal maupun sisi pribadi lain yang kadangkala tidak relevan dengan pemberitaan yang sedang dimuat. Misalnya saja konstruks i media terhadap sosok Malinda Dee. Seperti yang dimuat oleh detik.com konstruksi media detik.com terhadap sosok Malinda Dee bukan terletak pada esensi kasusnya namun pada esensi ukuran tubuhnya. Malinda Dee bukan tidak mau memakai baju tahanan seperti rek an – rekannya saat menghuni bui. Masalahnya, ukuran baju tahanan untuk Malinda sulit dicari.Terpidana kasus penggelapan dan pencucian uang nasabah Citibank akhirnya memakai baju tahanan dengan kancing yang sengaja dibuka.”Aduh, enggak ada yang pas,” kata Kab areskrim Komjen Pol Ito Sumardi dengan gerak tangan menunjuk dada dengan mimik serius saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/4/2011). Wartawan menanyakan secara serius mengapa Malinda tidak mengenakan baju tahanan saat diperiksa. Ito yang awalnya diduga wartawan menjawab pertanyaan itu sekenanya, malah menegaskan, “Ini serius.”Bahkan, Ito meminta agar wartawan membuktikan sendiri kebenarannya. ” Kalau tak percaya cek aja. Tapi wartawannya yang cewek aja ya,” ujar Ito. 1 Selain Malind a Dee, juga ada pemberitaan kasus Ayin yang bias gender. Esensi berita yang dimuat adalah bagaimana sosok seorang Ayin yang tetap berdandan, tetap segar dan eye catching di dalam penjara. Terpidana kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, Artalyta Suryani alias Ayin, selalu berdandan segar nan eye catching saat ditahan di Rutan Pondok Bambu. Namun Ayin selalu menutupi wajahnya dari sorotan kamera.Pantauan detikcom saat mengikuti sidak Dirjen Pemasyarakatan Depkum HAM Untung Sugiyono di Rutan Pondok Bambu, Jakart a Timur, Senin (11/1/2009), Ayin selalu tampak menutupi wajahnya dari sorotan kamera media massa. Mengenakan kemeja warna biru dan celana jeans, Ayin tampil dengan rambut bercat cokelat gelap tergerai di bawah bahu. Saat itu Untung Sugiyono mengumpulkan pa ra napi yang sel dan ruangannya pada Minggu malam diinspeksi mendadak oleh Satgas Antimafia Hukum. Ayin datang tergopoh – gopoh menuju bangku panjang yang disiapkan di lapangan Rutan Pondok Bambu, sambil memegang gelas kaca bertelinga berisi susu. Ayin menut upi mukanya 1 Dikutip dari http://news.detik.com/read/2013/03/22/085840/2200764/10/5/ , diakses pada 20 Juli 2013

PAGE – 3 ============
3 Selama ini Ayin memang selalu tampil segar dengan dandanan wajah nan modis. Tak ayal, meski menjadi pesakitan, dia tetap merawat kecantikannya. Dia menyimpan alat – alat kosmetik di meja rias dan kamar mandi di sel 3 x 6 meter di Blok Anggrek 1 A. Saat disidak di Rutan oleh Satgas Antimafia, Ayin kedapatan sedang menjalani perawatan kulit di kamarnya yang nyaman itu. Namun hari itu Ayin tampaknya kurang pede menunjukkan wajah terawatnya. 2 Bentuk representasi perempuan yang menguatkan struktur patriarkal tidak hanya terdapat di media massa ( media mainstream ) namun juga di media – media pembelajaran. Ketika kita membaca buku, buku apapun itu, entah buku pelajaran jaman sekolah dulu atau mengamati kultur budaya di masyarakat tak jarang kita akan men emui sejumlah teks bias gender. Label terhadap perempuan sebagai kelas kedua telah mengakar kuat sejak dahulu. Misalnya adalah kalimat, Pak Jalil mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Istrinya bernama Markonah, dipanggil bu Jalil. Perempuan dalam tek s atau sebutan tersebut bisa dikatakan telah kehilangan nama asli setelah menikah. Belum lagi penyebutan kepala keluarga di dalam rumah, pada umumnya yang disebut kepala keluarga adalah Bapak. Jika Bapak meninggal maka ibulah yang kemudian menjadi kepala k eluarga. Dari teks tersebut sebenarnya dapat kita pahami bahwa semua jenis kelamin pada dasarnya bisa menjadi kepala keluarga. Bias gender dalam teks sering kita temui di sejumlah media. Tak jarang penyebutan – penyebutan tersebut adalah sebuah tindakan bia s gender yang memberikan labelling atau stereotype bias gender yang melabeli perempuan sebagai p encari nafkah tambahan. Belum lagi kalimat di buku – – tugas perempuan pada ranah domestik yang sang at bias gender. 2 Dikutip dari http://news.d etik.com/read/2013/03/22/085840/2200764/10/7/#bigpic , diakses pada 20 Juli 2013

PAGE – 4 ============
4 usia dini. Bahkan sejak usia bayi, ketika mereka mulai dipisahkan secara warna, laki – laki menggunakan baju warna biru dan perempuan identik dengan warna p ink adalah sebuah perwujudan dari tindakan bias gender yang kemudian dilanjutkan dalam teks – teks yang dibaca oleh anak – anak tersebut. Makna yang mereka pahami adalah ayah harus bekerja di kantor sedangkan ibu memasak di dapur menjadi salah satu alat legi timasi bagi laki – laki, di masa dewasanya untuk menolak mengerjakan pekerjaan – pekerjaan domestik ketika mereka tumbuh dari anak – anak dan kemudian menjadi manusia dewasa. Persepsi atau pendapat individu yang muncul ketika membaca teks – teks bias gender secara lambat laun berhasil membentuk sebuah opini publik di masyarakat terutama jika menyangkut persoalan – persoalan domestik. Maka tak heran jika kemudian wanita dikontruksikan dalam sebuah pandangan yang terkadang tidak menguntungkan. Di Indonesia, teks – teks yang melemahkan eksistensi perempuan juga menjadi salah satu fenomena yang menarik di amati. Sejumlah berita tersebut juga menjadi headline besar sebuah surat kabar pada tanggal 7 Juli 2011. Sebagai peneliti yang juga perempuan, penulisan dan pemilihan kata – kata dalam teks berita tersebut cukup menohok. Berita dibawah ini peneliti kutip langsung dari www.metrotvnews.com , sebuah portal berita online milik televisi swasta nasional. Berikut petikan beritanya: Kongres L uar Biasa (KLB) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di Solo, 9 Juli 2011, akan digelar dalam suasana berbeda dari kongres sebelumnya. Sejumlah gadis cantik akan mendampingi interuptor saat mendapat kesempatan berbicara. “Setiap interuptor akan did ampingi dua gadis cantik di sisi kanan dan kiri saat berbicara,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta Purnomo Subagyo kepada wartawan di Solo, Rabu (6/7). Para gadis itu, kata Purnomo, ditugaskan mengatur lalu lintas mikropone tanpa k abel bagi peserta kongres yang ingin menyampaikan pendapat. Sebagian gadis – gadis itu pernah menyandang gelar Putri Solo. Mereka akan mengenakan busana model ‘kemben’ dan lainnya memakai busana adat Jawa lengkap . Ketika para gadis itu menyerahkan mikropone kepada peserta kongres

PAGE – 5 ============
5 yang melakukan interupsi, mereka sekaligus ditugasi untuk mengapit para interuptor di kiri dan kanannya. 3 Belum lagi berita yang peneliti nukilkan dari kompasiana.com, menurut saya kalimat yang terdapat dalam tulisan tersebut sanga t bias gender. mengantisipasi kegagalan kongres sebelumnya. Cara yang unik akan ditempuh: – cantik akan dipajang di arena kongres. Kehadiran mereka, menurut Walikota Joko Widodo, diharapkan akan memberikan suasana sejuk saat para peserta kongres bersidang. Dengan suasana yang kondusif ini, diharapkan kongres tidak akan mengalami kegagalan untuk kali kedua Kalimat – kalimat atau teks yang mengandung makna bias gender seperti itu memberi sebuah dan sejumlah peran yang tidak terlalu terhormat. Mungkin ini sedikit emosional, t etapi kita perlu diskusikan seberapa dahsyatnya konstruksi pesan yang dihasilkan oleh media dapat mempengaruhi publik pembacanya. Tak terkecuali mempengaruhi opini publik pembacanya. Berbagai tanggapan dari pembaca tulisan di website tersebut beraneka mac am. Salah satu pembaca (laki – laki) berkomentar bahwa ide yang dilontarkan oleh walikota Solo untuk memajang wanita – wanita cantik dalam kongres PSSI adalah sebuah kreativitas. Sikap pribadi pembaca yang mengomentari bahwa tindakan itu adalah kreativitas ten tu berkaitan dengan pengalamannya dalam memandang konsep harga diri wanita. Bisa jadi, pengalamannya juga dibentuk oleh sikap orang – orang dalam kelompoknya yang telah menjadi sebuah opini publik bahwa melakukan labelisasi terhadap wanita sebagai pemanis da n penghibur adalah sebuah tindakan wajar dan sah. 3 Dikutip dari www.metrotvnews.com , diakses pada 8 Juli 2011

PAGE – 6 ============
6 Ketimpangan posisi perempuan ini pun seolah – olah juga disetujui oleh perempuan sebagai objek. Dalam pemberitaan di viva news.com, para putri itu pun setuju atau mungkin pasrah ketika realita sosial menempa Di sela – sela acara kirab, salah satu putri Solo, Meita Fernando, mengaku baru pertama kali dilibatkan dalam kongres. Namun wanita berpostur 175 cm ini mengaku tidak takut dengan kemungkinan me ningkatnya tensi sidang nanti. “Ka mi positive thinking saja Mas. Kalau memang ada yang emosional, kami akan mencoba menenangkan,” kata Meita yang sehari – hari berprofesi sebagai model sebuah agensi tersebut. “Kalau ada yang emosi saya paling hanya bilang “Sabar Pak. Kita ada di kota Solo. Di sini budayanya halus pak,” ujar Meita menjelaskan sedikit aksi yang akan dilakukann ya bila ada peserta emosional. Putri Solo lainnya, Safira RA juga tidak khawatir meski baru pertama mengikuti kongres. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Solo ini juga tid ak punya cara khusus dalam m enenangkan peserta yang emosi. “Mengalir saja Mas. Kami akan berusaha membantu kelancaran sidang. Kalau suasana memang panas, kami akan berusa ha menenangkannya,”ujar Safira. Melihat fenomena yang terjadi tersebut, peneliti kemu dian mengamati bahwa ketika perempuan masuk ke ranah politik dan terjerat kasus korupsi, lagi – lagi media juga melakukan eksploitasi terhadap sisi tubuh, sisi feminitas diri perempuan, daripada sisi empowering yang dilakukan perempuan ketika menghadapi kasu s korupsi tersebut. Kalimat – yang menempati posisi headline di sebuah surat kabar mainstream . Pada kasus salah satu terdakwa korupsi per empuan, Malinda Dee, eskpos berita justru tidak lagi memfokuskan pada kasus yang membelit namun didominasi oleh eksploitasi fisik Melinda Dee, meliputi baju, ukuran salah satu bagian tubuh, riasan make – up , dan sebagainya. Perempuan sebagai subjek merupakan hasil representasi oleh media yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Produksi kekuasan lewat bahasa pun akhirnya memunculkan keberadaan subjek dan identitas, politik pembedaan oleh media terus direproduksi bahwa perempuan itu lemah, emosional, sensual, dan irasional.

PAGE – 8 ============
8 penelitian ini yang akan diteliti adalah berita – berita terkait kasus yang melibatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan atau koruptor. Angelina Sondakh adalah salah satu anggota legislatif yang terjerat kasus korupsi Hambalang. An gie, sapaan Angelina Sondakh, adalah divonis bersalah melakukan suap dan dituntut 12 tahun penjara karena menerima suap sebesar Rp 12,58 miliar serta US$ 2,35 juta. Dia juga diduga terlibat makelar anggaran di Kemenpora. Di Jawa Pos, kasusnya mulai memanas sejak September 2011 dan akhirnay divonis bersalah pada akhir 2012. Sebagai seorang mantan Putri Indonesia yang dikenal smart , sekaligus kader dari Partai Demokrat yang memiliki jargon si menjadi satu ironi yang menarik untuk diteliti. Alasan pemilihan Angelina Sondakh, salah satu koruptor sebagai fokus kajian karena selain Angelina Sondakh adalah kader Partai Demokrat, partai yang sedang berkuasa saat ini, posisi Angelina Sondakh seba gai artis juga menjadi daya tarik bagi media. Media tertarik untuk mengeksposnya lebih banyak karena ia memiliki point of interest yang lebih tinggi dari koruptor – koruptor perempuan yang lainnya. Selain itu posisi Dahlan Iskan, sebagai owner Jawa Pos, saat ini berada dalam tim kabinet SBY dan mendapatkan jabatan strategis sebagai menteri BUMN. Posisi Dahlan Iskan sebagai orang dekat SBY menjadi daya tarik tersendiri untuk mengungkap sejauh mana relasi kekuasaan yang muncul dalam teks – teks yang dimuat oleh J awa Pos. Penelitian terdahulu yang ditulis oleh Weni Arindawati, alumni Sekolah Pascarjana UGM, tentang Identitas dan Representasi Perempuan: Pemberitaan Buruh Migran Perempuan menemukan bahwa perempuan masih diberitakan dengan labelling yang sangat bias d i media, meski korban maupun pelaku yang sama – sama perempuan. Hasilnya pun kontinuitas wacana

PAGE – 9 ============
9 identitas tersebut telah mereduksi struktur komunikasi hubungan sosial dan budaya atas dominasi laki – laki (patriarkal) rung memberikan kesan bias, namun persoalan identitas terkadang juga ambivalen. Penyebutan identitas korban maupun pelaku diwarnai beragam sudut pandang media atas subjek perempuan buruh migran. Representasi perempuan yang penuh siksaan kurang mendapatkan posisi yang setara perempuan masih dilabelkan tidak berdaya, lemah, dan pasrah. Sedangkan sisi lain, sebagai adalah seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT). Kontinuitas wacana identitas tersebut telah mereduksi struktur komunikasi hubungan sosial dan budaya atas dominasi laki – lak i 5 Hasil penelitian Ezi Hendry dalam skripsinya yang berjudul Wacana Marjinalisasi Perempuan Dalam Media Studi Analisis Wacana Berita Calon Legislatif tahun 2009 di Harian Jawa Pos menyebutkan bahwa berita – berita tentang caleg perempuan tahun 2009 yang dimuat di harian Jawa Pos kurun waktu 1 Maret – 30 April 2009 terdapat kecenderungan perempuan agar tidak terlibat jauh dalam ruang politik. Hal in i dilihat dari banyaknya berita yang memposisikan perempuan sebagai objek ketimbang subjek. Ketika sebagai objek, perempuan tidak diberikan ruang untuk berpendapat dan berargumen karena wartawan memilih berita dari perpektif laki – laki. Selanjutnya, marjina lisasi terjadi ketika perempuan ditiadakan (pasivasi) dalam berita. Dalam hal ini strategi yang digunakan berupa penghilangan dan penyamaran posisi perempuan dalam berita. Terakhir praktek marjinalisasi ketika dalam berita terjadi pengingkaran (negasi) ter hadap kehadiran dengan tema – tema perempuan 6 . 5 Weni Arindawati (2010), Identitas dan Politik Representasi Perempuan: Pemberitaan Buruh Migran Perempuan , Tesis S2 Prodi Kajian Budaya dan Media tidak dipublikasikan,Sekolah Pascasarjana UGM. 6 Ezi Handry (2009), Marjinalisasi Perempuan Dalam Teks Berita ( skripsi), diakses tanggal 20 Juli 2013 dari http://eprints.uns.ac.id/4578/1/Unlock – 182580212201109351.pdf

PAGE – 10 ============
10 May Lan juga menulis bahwa pada masa Orde Baru media masih mendudukkan posisi perempuan asimetris dengan posisi laki – laki, khususnya dalam empat hal yaitu yang pertama tentang materi berita dalam surat kabar da n media massa masih menampilkan perempuan sebagai sosok yang dieskploitasi. Kedua, perempuan digambarkan sebagai sosok yang tertindas, terbelakang, dan tidak punya kekuatan berupa otoritas dalam dirinya. Selain itu pemberitaan tentang perempuan masih cende rung monumental, artinya hanya kuat ketika perayaan hari – hari terkait pemberdayaan perempuan 7 Jika dikaitkan dengan penelitian sebelumnya yang hasilnya menunjukkan b ahwa konstruksi pemberitaan perempuan di koran, tak terkecuali Jawa Pos, masih sangat bias gender. Penelitian ini berupaya untuk melihat apakah ada dekonstruksi teks berita ketika perempuan menjadi pelaku kejahatan yang dimuat di koran mainstream yakni Jaw a Pos. Terlebih ini dikaitkan dengan momentum perubahan corporate culture Jawa Pos sejak tahun 2010 – an yang mengindikasikan ada upaya untuk menunjukkan kepedulian terhadap perempuan Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk membongkar teks, menganalisis bentuk dekonstruksi yang merupakan cara – cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi (gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku bahkan universal). Konstruksi yang baku dalam penelitian terkait pemberitaan perempuan di media , berdasarkan hasil exploratory research yang dilakukan oleh peneliti banyak yang menunjukkan simpulan bahwa perempuan selalu ditempatkan dalam labeling yang negatif, tertindas, terhina, kelas kedua, dan sebagainya. Sehingga diharapkan dari penelitian ini akan muncul sebuah kontribusi 7 May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktek Jurnalisme Gender Pada Masa Orde Baru , Jogjakarta, 2002, hlm 45

PAGE – 11 ============
11 khususnya terkait adakah perubahan pola pikir redaksi dalam membuat teks berita khususnya berita yang melibatkan perempuan. Dekonstruksi ini tidak bermakna negatif karena tetap bertujuan mengkonstruksi, dekonstruksi adalah cara membaca teks sebagai strategi. Sebab teks tidak sekedar tulisan, semua pernyataan kultural dalam teks serta keseluruhan rangkaian pernyataan adalah teks yang dengan sendirinya mengandung nilai, ideologi, kebenaran, tujuan dan prasyarat yang sudah mele kat. Dekonstruksi ini juga tidak sedang mencari makna tunggal dari representasi yang ada. Karena makna itu bersifat tak terbatas. Pembongkaran makna (mendekonstruksi makna) sebuah teks ini tepat jika menggunakan metode Critical Discourse Analysis karena CD A juga tidak berkehendak untuk melahirkan jawaban yang penuh kepastian, CDA mempunyai agenda yang seiring dengan upaya dekonstruksi, yaitu untuk mengoreksi bias yang terjadi akibat politisasi, melibatkan pengungkapan kekuasan, dominasi, ketidaksetaraan yan g direproduksi oleh teks. CDA bersifat intepretatif dan eksplanatif dan tidak harus diarahkan pada makna yang tunggal. Penelitian ini menarik diteliti karena selain menawarkan satu sudut pandang lain untuk membon gkar teks selain dengan semiotik atau analisis framing , penelitian ini juga belum pernah dilakukan di Program Pasca sa rjana Universitas Muhammadiyah Malang sehingga memiliki originalitas yang cukup tinggi dari sisi ide maupun angle yang diteliti. Berdasarkan exploratory research , p enelitian tentang pemberitaan korupsi yang melibatkan tokoh perempuan merupakan salah satu fenomena yang relatif baru karena pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan perempuan baru booming sekitar tahun 2011 lalu. Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan satu wacana baru secara kritis demi memperkaya diferensiasi penelitian yang menggunakan analisis teks media terutama terkait analisis wacana kritis.

84 KB – 13 Pages