by DA Rahayuningtias · Cited by 2 — melakukan pola defiance dengan sikap diam, acuh tak acuh, masa bodoh, dan tidak mengakibatkan aturan RT setempat tidak dapat berjalan dengan baik.
7 pages

287 KB – 7 Pages

PAGE – 1 ============
Konflik dan Pola Defian ce 1 KONFLIK DAN POLA DEFIANCE WARGA PERWIRA DI KOMPLEK MILITER Defi Arini Rahayuningtias Program Studi S1 Sosiologi , Fakultas Ilmu Sosial , Universitas Negeri Surabaya arinirahayu15291 @yahoo .com Arief Sudrajat Program Studi S1 Sosiologi , Fakultas Ilmu Sosia l, Universitas Negeri Surabaya arief55281@yahoo.co.au Abstrak Komplek perumahan militer terdapat warga yang memiliki h ierarki pangkat berbeda -beda sehingga mempengaruhi status dan peranan yang berdampak terhadap pola defiance dan konflik. Khusunya warga perwira (kelas atas) yang terbukti sering melakukan pola defiance yang dapat memicu konflik, hal tersebut dapat dilihat dari tingkat partisipasi warga dan kepedulian sosial dalam pelaksanaan pembangunan di lingkung an Komplek Militer . Penelitian ini bertujuan untuk m endeskripsikan pola defiance dan konflik yang terjadi di komplek perumahan militer sehingga mengakibatkan peranan dan status pihak pengelola lingku ngan RW dan RT hanya sebagai s imbol. Teori yang dipergunakan adalah teori stratifikasi konflik strukt uralis Randall Collins . Penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan Fenomenologi Edmund Huserl. Hasil penelitian menjelaskan bahwa a da 3 kategori pola defiance yaitu melalui ver bal, sikap ap atis, dan dominasi simbolik yang terbukti dilaku kan oleh informan . Peneliti mendapat data berupa bukti konflik dan pola defiance terjadi, maka dapat diketahui yang paling sering dilakukan oleh warga perwira adalah sikap apatis. Sebagian besar warga perwira paling banyak melakukan pola defiance dengan si kap diam, acuh tak acuh, masa bodoh, dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap perkembangan situasi lingkungan sekitar yang ada. kemudian Konflik yang timbul yaitu konflik peran dan status yang dialami oleh pihak penanggung jawab setempat. Hal ini mengakibatkan aturan RT setempat tidak dapat berjalan dengan baik . Kata Kunci: konflik , defiance , pangkat . Abstract The Military housing complex there are people who have a different hierarchy of power that affect the status and role of the impact on the pattern of defiance and conflict. Especia lly residents officer (top class ) which proved defiance frequent patterns that can lead to conflict, it can be seen from the level of citizen participation and social concern in the implementation of development in the Military Complex. This study aimed to describe the pattern of defiance and conflict that occurred in military housing complex, resulting in the manager role and status of RW and RT only as a symbol. The theory used is conflict stratification structural ist theory Randall Collins. This research is a qualitative descriptive approach Huserl Edmund Phenomenology. The results explain that there are 3 categories of patterns is through verbal defiance, apathy, and symbolic domination proved by informants. Resea rchers received data in the form of evidence of conflict and defiance pattern occurs, it can be seen that the most frequently performed by residents officer is apathy. Most of the people most committed officers defiance pattern with silence, indifferent, a pathetic, indifferent and did not have an interest or concern to the development of the existing situation of the surrounding environment. The conflict that arises then is the role and status of the conflict experienced by the local responsible parties. Th is resulted in the RT local rules can not work well. Keywords: conflict, defiance, rank. PENDAHULUAN Di era pembangunan bangsa dan Negara Indonesia ada beberapa unsur atau komponen yang perlu mendapat perhatian yang serius sesuai dengan tugas dan fungs inya. Salah satu unsur atau komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam kesejahteraan hidup yaitu Prajurit TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional yang profesional menuntut adanya integritas mental dan fisik serta intelektual, sedangkan mereka juga memperjuangkan istri, anak, dan keluarganya guna mendapatkan kesejahteraan hidup. Jaminan sosial pada hakekatnya merupakan amanat konstitusional untuk meningkatkan harkat dan martabat setiap warga negara. Adanya bantuan sosi al yang d iberikan oleh dinas menjadikan salah satu kebutuhan pokok utama telah terpenuhi . Fasilitas perumahan yang diberikan kepada para prajurit dapat menimbu lkan kelas sosial di masyarakat. Kelas sos ial timbul karena adanya perbedaan dalam penghormatan dan status sosialnya, seperti seseorang yang mempunyai wewenang dan kuasa umumnya berada dilapisan tinggi, sedangkan yang tidak punya wewenang berada dilapisan bawah. Terdapat suatu permasalahan sosial mengenai lingkungan perumahan khususnya warga p erumahan

PAGE – 2 ============
Jurnal Paradigma. Volume 01 Nomor 03 Tahun 2013 militer. Pembangunan perumahan terlihat jelas pola hidup dan perilaku masyarakat yang dapat dipandang dari status sos ial yang dimilikinya. Setiap individu dalam masyarakat memiliki status sosialnya masing -masing. Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari h ak dan kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masya rakatnya. Berdasarkan status sos ial terdapat pembagian kelas -kelas sosial dan dapat difokuskan dengan jelas pada hierarki militer, terbagi kelas sosial atas (perwira) dari p angkat Kapten hingga Jendral, kelas sosial menengah (Bintara) dari pangkat Sersan dua hingga Sersan mayor, dan Kelas sosial bawah (Tamtama) Dari pangkat Prajurit hingga Kopral kepala (UUD RI no 34 pasal 26, 2004) . Keberadaan hierarki anggota militer mem pengaruhi tingkat kepedulian sos ial dan partisipasi di lingkungan masyarakat khususnya perumahan. Selama ini di komplek perumahan militer masih banyak warga yang flkelirufl memahami keduduk an, tugas dan peranan RT dan RW. Realitasnya selama ini di komplek militer , Ketua RT hanya dijadikan flsimbolfl oleh warga di berbagai kegiatan . Warga militer yang melakukan pola pembangkangan (untuk selanjutnya disebut defian ce) terhadap aturan yang berlaku di lingkungan sosialnya dapat dilihat dari tingkat partisipasi yang dapat diartikan dalam bentuk ketidakpatuhan . Fenomena diatas sangat menarik untuk dijadikan sebuah penelitian bah wa dalam Komplek perumahan Militer terdapa t warga yang memiliki hierarki berbeda -beda sehingga , mempengaruhi status dan peranan yang berdampak terhadap tingkat partisipasi warga dan kepe dulian sosial dalam pelaksanaan pembangunan di li ngkungan komplek militer . Kehidupan warga perumahan yang notabene merupakan angota militer per lu ditindak lanjuti menjadi sebuah penelitian pada lingkungan RW agar dapat membuktikan terjadinya bentuk konflik dan pola -pola defiance lebih luas . Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan, maka dirumuskan masalah bagaimana pola defian ce yang dilakukan oleh perwir a dan bentuk konflik yang terjadi pada warga komplek militer . Pada penelitian ini lebih difokuskan untuk memahami pola defian ce dan konflik oleh warga perwira di komplek perumahan militer sehingga mengakibatkan peranan dan status pihak pen anggung jawab perumahan tersebut menjadi terhambat , dengan kata lain peran dan status pihak penangg ung jawab seperti RT dan anggot a panitia setempat sebagai s imbol. Permasalahan mengenai pola defian ce dan konflik yang terjadi di komplek militer kar ena hierarki pangkat yang dimiliki oleh warga militer dapat dikaitkan dengan teori -teo ri sosial yakni stratifikasi sos ial . Manusia pastinya akan mampu menilai perbedaan dalam masyarakat, jadi selama ada penilai an atas perbedaan, pelapisan sos ial akan berta han juga sebagai satu penentu penting daripada pola masyarakat atau sosial structure (Widjaja, 1986: 31 -35). Teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini yaitu teori stratifikasi konflik oleh Randall Colins . Gagasan -gagasan Collins (1975) ten tang konsep kekuasan, konflik di masyarakat, sumber daya dalam konflik, konflik, stratifikasi sosial dan dinamika sumber daya, org anisasi sebagai arena konflik, s umbe r daya dalam konflik meliputi ma terial dan sumber daya teknik seperti kepemilikan kekay aan, alat produksi, dan senjata (Susilo, 2008:45). Sumber daya dalam konflik juga tidak terlepas dari peran dalam hubungan personal dan kemampuan negosiasi untuk mendapatkan material dalam meningkatkan status maupun menjual kemampuan kultural untuk memaksakan solidaritas emosio nal. Dalam hal ini Collins (1975) membagi menjadi 2 sumber daya dalam konflik yaitu generalized cultural capital (seperti : pengetahuan, posisi, otoritas dan pengelompokan) dan particularized cultural capital (seperti: identitas -identitas khusus, reputasi, jaringan dan posisi pada sebuah organisasi). Konflik yang timbul akibat startifikasi diantara ke -2 sumber daya tersebut dapat menyebabkan dominasi yang berlebihan sehingg a menimbulkan pola defia nce terjadi. Collins (1975:49) lebih meneka nkan konflik yang dipolakan oleh struktur stratifikasi dengan intentitas dominasi, dengan sumber -sumber y ang mendorong kelompok -kelompok untuk mengorganisasikan dan memobilitasi. Pendekatan konflik terhadap stratifikasi dapat diturunkan menjadi tiga prinsi p. Pertama, Collins yakin bahwa orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri. Kedua, orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu. Ketiga, orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka ak ibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik individu. Sumber daya yang dimiliki warga berupa generalized cultural yaitu otoritas dan pengetahuan warga perwira yang lebih tinggi dan particularized cultural yaitu posisi atau pangkat di satuan kerja yang lebih tinggi sehingga jelas terlihat intensitas dominasi yang dilakukan oleh para warga yang berada pada lapisan atas (perwira) terhadap kelompok atau para warga yang berada pada lapisan bawah termasuk ketua RT beserta anggota panitia set empat. Sumber -sumber yang mendorong hal tersebut yaitu otoritas dan pengetahuan sehingga seseorang yang berkedudukan pada hi erarki atas (perwira) berhak berkuasa dan mengatur. Terlebih lagi adanya sumber daya particularized cultural yang mana berupa posisi

PAGE – 3 ============
Konflik dan Pola Defian ce 3 atau pangkat di satuan kerja mereka. Apabila mayoritas warga perwira tidak dapat memposisikan dirinya sebagai warga ditengah -tengah masyarakat justr u memicu pada pola defi ance . Pola defia nce yaitu pola tingkah laku berulang yang negatif, menantang dan tid ak taat. Untuk diharapkan Seharusnya warga perwira dapat memposisikan diri sebagai warga masyarakat yang baik dan taat terhadap aturan. Sama halnya, situasi dan kondisi di komplek perumahan Militer dimana ketua RT setempat yang seharusnya memiliki kewenang an mengatur setiap warganya justru terhambat peran dan st atus akibat intensitas dominasi. METODE Metode yang digunakan dalam penelitia n ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif (Moleong, 2009:162) yang berusaha menggali, memahami, dan mencari fe nomena sosial yang kemudian menghasilkan data yang mendalam. Penelit ian ini menggunakan pendekatan fenomenologi Edmund Husserl. Pendekatan ini berguna untuk mengamati fenomena -fenomena konseptual subyek yang diamati melalui tindakan dan pemikirannya guna m emahami makna yang disusun oleh subyek di sekitar kejadian sehari -hari (Ritzer, 2007: 59 -62). Fokus kajian dalam penelitian ini adalah warga Perwira militer. Komplek militer Sidoarjo memiliki beberapa Blok perumahan dari A sampai L yang masing -masing Blok perumahan terdiri dari 2 RT dan setiap 4 blok perumahan terdiri dari 1 RW sehingga terpilih dari blok A, B, C, D. Alasan pemilihan blok perumahan tersebut dikarenakan keempat blok merupakan lokasi yang dihuni oleh warga militer yang memiliki lapisan pangk at paling menonjol dan bervariasi dalam h ierarki militer. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi partisipan dan wawancara mendalam. Tahap analisis data dilaksanakan setelah semua data dikumpulkan. Proses analisis tahap pertama dilakukan peny usunan data, yakni penyusunan paparan (transkrip) hasil wawancara dengan Ketua RT setempat, warga komplek militer dan warga Perwira TNI yang menjadi informan hasil observasi dan dokumen -dokumen, berdasarkan kategorisasi yang sesuai dengan masalah penelitia n. Selanjutnya data dan informasi dianalis sesuai dengan perspektif yang telah ditentukan. Kemudian Proses tahap kedua analisis data dilakukan secara induktif yang dimulai dengan menelaah data yang tersedia, baik dari wawancara maupun observasi yang ditul iskan dalam catatan lapangan (fieldnote ) dan Proses terakhir data yang sudah terkumpul akan diklasifikasi, dikategorisasi, diinterpretasi, dan kemudian dianalisis. HASIL DAN PEMBAHASAN Komplek militer yang dijadikan tempat peneliti an meru pak an perumahan yang dihuni oleh mayoritas para anggota militer dari pangkat tinggi hingga bawah. Keberadaan hi erarki militer pun bertingkat -tingkat. Kelas atas Perwira (Kapten hingga Jenderal); Kelas Tengah Bintara (Sersan Dua hingga Sersan Mayor); Kelas Bawah Tamtama (Pr ajurit hingga Kopral K epala). Keberadaan hierarki yang dimiliki oleh warga militer khususnya kelas atas perwira terbukti melakukan pola defian ce yang dapat memicu timbulny a konflik peranan dan status yang dialami oleh p ihak penanggung jawab di komplek mili ter setempat , kebanyakan dari mereka tidak dapat memposisikan dirinya sebagai warga masyarakat yang seharusnya mengikuti segala aturan namun ternyata menyalahi aturan. Sehubungan dengan konflik yang terjadi di komplek militer akibat startifikasi yang timb ul karena perbedaan hierarki di setiap warganya yang notabene anggota militer sehingga jelas terlihat intensitas dominasi yang dilakukan oleh para warga yang berada pada lapisan atas (perwira) terhadap kelompok atau para warga yang berada pada lapisan bawa h termasuk ketua RT setempat maupun panitia RT. Sumber -sumber yang mendorong hal tersebut yaitu posisi (jabatan) di satuan kerja yang wajib mengutamakan keberdaan hierarki sehingga seseorang yang berkedudukan pada hierarki atas (perwira) berhak berkuasa da n mengatur. Namun apabila mayoritas warga perwira tidak dapat memposisikan diri sebagai warga ditengah -tengah masyarakat justru mendo rong pada pola defian ce dan memicu konflik. Situasi dan kondisi di komplek perumahan Militer dimana ketua RT setempat yang seharusnya memiliki kewenangan mengatur setiap warganya justru terhambat peran dan statusnya akibat intensitas dominasi. D engan kata lain, seringnya terdominasi ol eh warga yang berpangkat tinggi dapat menyeb abkan perubahan ke arah negati f. Konflik dalam p ermasalahan diatas berkaitan dengan stratifikasi sosial dan dinamika sumber daya, Collins (1975 ) menjelaskan kemunculan konflik akibat stratifikasi sosial dan dinamika sumber daya namun Collins lebih menekankan konflik yang dipolakan oleh struktur stratifi kasi dengan intentitas dominasi, dengan sumber -sumber yang mendorong kelompok -kelompok untuk mengorganisasikan dan memobilitasi. Konflik yang dilihat dari stratifikasi sosial adalah operasi lewat struktur dan intensitas dominasi, dengan sumber -sumber yang mendorong kelompok -kelompok mengorganisasi dan memobilitasi dengan penguasaan sumber daya. Berkaitan dengan konflik yang terjadi di komplek militer akibat startifikasi yang timbul karena 2 sumber daya yang dimiliki warga berupa generalized cultural yaitu o toritas dan pengetahuan warga perwira yang lebih

PAGE – 4 ============
Jurnal Paradigma. Volume 01 Nomor 03 Tahun 2013 tinggi dan particularized cultural yaitu posisi atau pangkat di satuan kerja yang lebih tinggi sehingga jelas terlihat intensitas dominasi yang dilakukan oleh para warga yang berada pada lapisan atas (perwir a) terhadap kelompok atau para warga yang berada pada lapisan bawah termasuk ketua RT setempat. Sumber -sumber yang mendorong hal tersebut yaitu otoritas dan pengetahuan sehingga seseorang yang berkedudukan pada hierarki atas (perwira) berhak untuk mengatur . Terlebih lagi adanya sumber daya particularized cultural yang mana berupa posisi atau pangkat di satuan kerja mereka. Apabila mayoritas warga perwira tidak dapat memposisikan dirinya sebagai warga ditengah -tengah masyarakat dapat memicu konflik peran dan status yang dialami oleh ketua RT beserta anggota panitia. Intensitas dominasi dari para warga perwira mengkibatkan aturan RT setempat tidak berjalan. Warga perwira merasa memiliki sumber -sumber kekuasaan berupa pangkat atau jabatan yang dapat mendorong suatu kelompok mengalami hambatan dalam menjalankan aktivitas sosial . Dari konflik yang dipolakan oleh struktur stratifikasi dengan intentitas dominasi, dalam menggunakan kekuasaan berupa posisi atau jabatan dapat dianalisis bahwa warga perw ira melakukan p ola defiant yakni ketidaktaatan atau ketidakpatuhan warga. Perangsangnya dapat datang dari berbagai sumber sehingga dapat memperlihatkan bentuk tekanan yang terjadi secara perlahan -lahan mengenai pola -pola perubahan dan norma -norma kehidupan sosial. Terban gunnya gap (jurang pemisah) antara fakta -fakta sosial dengan fakta -fakta memaksa kemungkinan timbulnya tuntutan keras yang datang secara mendadak untuk mengubah kondisi negara sesegera mungkin. Adanya intensitas dominasi dapat me ndorong suatu pola defiance dalam kehidupan sosialnya khususnya di perumahan militer . Hal semacam itu memang kerap terjadi menurut para warga setempat, keberadaan hierarki dan jabatan itulah yang menyebabkan warga perwira bertindak sesuai keinginannya sendiri. Aki batnya banyak pola defiance yang terjadi dan memicu suatu konflik peran dan status. Dapat dikategorikan dari pola defian ce yang terjadi yaitu verbal, sikap apatis dan dominasi simbolik. Perilaku defian ce yang terjadi di komplek ini terjadi karena intensitas dominasi yang se ring dilakukan oleh para perwira. Menurut pihak penanggung jawab daerah setempat, dalam menjalankan hak peranan beliau merasa terhambat akibat warga yang diaturnya berpangkat lebih tinggi darinya yang secara otomatis para bawahan mau tidak mau terpaksa men gikuti keinginan para warganya. Terdapat berbagai variasi interaksi antara revolusi so sial dengan perubahan hukum. Fa ktor yang menyebabkan pola defiance dapat datang dari berbagai sumber sehingga dapat memperlihatkan bentuk tekanan yang terjadi secara perl ahan -lahan mengenai pola -pola perubahan dan norma -norma kehidupan sosial. Permasalahan diatas yang timbul akibat adanya bentuk perlawanan secara verbal. Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupu n kata -kata yang melecehkan seseorang. Pelaku biasanya melakukan tindakan menyalahkan, atau juga mengkambinghitamkan. Pola defiance semacam itu terjadi di dalam komplek perumahan militer yang kerap dilakukan warga perwira seperti menghina, mengancam, mempr otes dan mengkritik keras yang dikeluarkan melalui kata -kata terhadap pihak penanggung jawab yaitu RT. Oleh sebab itu, permasalahan tersebut dapat menciptakan terbangunnya gap (jurang pemisah) antara fakta -fakta sosial dengan fakta -fakta memaksa kemungkina n timbulnya tuntutan keras yang datang secara mendadak untuk mengubah kondisi negara sesegera mungkin. Penelitian ini sesuai dengan pemikiran Randal Collin (1975 ) yang menyebutkan intensitas dominasi yang dilakukan oleh warga perwira menggunakan kata -kata untuk membuat pihak penanggung jawab (ketua RT beserta panitia) terlecehkan melalui komunikasi secara kritis, sarkastik, kata -kata mengejek dimaksudkan untuk menjatuhkan seseorang dikala berdua atau di depan orang dalam kegiatan sosial . Selanjutnya, berte riak dan memaki dengan menggunakan ancaman untuk mengintimidasi, suka menyalahkan dan tidak memedulikan perasaan seseorang. Dari kategori tersebut, yang dominan adalah bentuk protes, penolakan, penghakiman disertai celaan, dan ancaman kepada pihak ketua RT beserta Panitia. Keke rasan verbal dalam kehidupan sos ial di lingk ungan perumahan militer dipicu oleh adanya (a) ketimpangan kekuasaan warga perwira yang menduduki jabatan atau pangkat kelas atas dan ketua RT atau panitia sebagai pihak yang meduduki pang kat yang rendah, (b) adanya prasangka sosial warga perwira terhadap pihak penanggung jawab setempat, baik karena stereotype negatif maupun karena jarak sosial yang renggang antara warga perwira dan pihak penanggun jawab di komplek perumahan setempat. Terda pat faktor -faktor penyeb ab terjadinya pola defiance warga yaitu persoalan interaksi. Persoalan interaksi merupakan salah satu persoalan yang sangat diperbincangkan dalam konteks perumahan. Interaksi antar tetangga tersebut juga merupakan satu persoalan yan g relevan dalam pembahasan penelitian ini. Secara sosial, kompleks perumahan ini sangat homogen. Yaitu, kebanyakan warga mempunyai pola hidup dan tujuan hidup yang mirip. Kesamaan ini dapat memupuk hubungan antar warga. Namun , realitasnya hidup dengan oran g dari status pekerjaan yang sama dianggap dapat menghalangi hubungan yang baik dan terdapat batasan

PAGE – 5 ============
Konflik dan Pola Defian ce 5 seperti di satuan kerja mereka, hal tersebut dikarenakan keberadaan hierarki atau pangkat militer. Keterikatan ini tak berhubungan. Kompleks perumahan ini seringkali memajukan kebebasan pribadi dan perpisahan antara warga perumahan. Jika diamati hubungan antar warga memang ada, namun hubungan ini bukan hubungan yang sesungguhnya. Melainkan, hubungan ini hanya berdasarkan minat dan pengkajian secara bersamaan . Kurangnya komunikasi antar warga dengan warga dan warga dengan pihak RT atau panitia dapat menimbulkan sikap saling tidak jujur, tidak percaya, tidak terbuka, dan lain -lain yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit hati, sehingga salah satu pihak yang mer asa tidak di hargai, seperti mencari pelampiasan misalnya salah satunya adalah miss ed komunikasi sehingga lambat laun memicu suatu permasalahan dalam hubungan sosial, dan mengakibatkan hilangnya kondisi harmonis dan mengundang masalah, seperti pertengka ran dan bahkan terkadang berakhir dengan kekerasan dan kehancuran hubungan sosial . Pola defian ce yang dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliknya juga dapat terlih at dari sikap apatis yang terbukti sangat sering dilakukan oleh kebanyakan warga p erwira. Hal tersebut dapat diketahui dari tingkat partisipasi dalam masyarakat dan gengsi sosial. Sebagian besar warga perwira melakukan pola defiance dengan sikap diam, acuh tak acuh, fimasa bodohfl, ficuek fl dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap perkembangan situasi lingkungan sekitar yang ada. Sikap apatis yang sering ditunjukan oleh kebanyakan warga perwira akan sangat mengancam proses perubahan lingkungan ke arah kemajuan. Untuk itu, peran serta warga masyarakat dalam mengawasi setiap ba gian dari aktiifitas sos ial sangat diharapkan. Sikap yang paling banyak dimiliki oleh setiap warga pewira yaitu sikap kurang antusias bahkan tidak tertarik dalam suatu hal. Selain dilihat dari tingkat partisipasi juga dapat diket ahui warga yang cenderung memil iki rasa gengsi dari status sos ial yang dimilikinya. Kompleks perumahan ini sering diidentikkan dengan keberadaan hierarki pangkat. Konsep gengsi sosial sa ngat sesuai dengan masalah ini karena secara garis besar gengsi sosial adalah sesuatu yg terdapat pad a diri kita sendiri yang terkadang membuat kita berbuat sesuatu yang tidak ingin kita lakukan, kita melakukannya hanya untuk mendapat pengakuan, atau mungkin sebaliknya, membuat kita tidak mau melakukan sesuatu karena dianggap bisa menurunkan gengsi. Dapat dibuktikan berkaitan dengan tingkat partisipasi warga dalam kegiatan sosial yang rendah. Terdapat juga pola defian ce secara dominasi simbolik yang terja di di perumahan militer muncul dari adanya suatu konflik atau pertentangan. Simbolik itu sendiri memili ki makna sebagai sebuah proses berkelanjutan baik berupa bahasa maupun tingkah laku(nonverbal) sebagai antisipasi dari reaksi yang diberikan oleh orang lain (Ritzer, 2007:51 -59). Pola defiance secara simbolik oleh warga perwira telah ditemukan pada pola yan g mengarah simbolik non verbal. Dimana terdapat warga yang melakukan suatu perilaku defiance terhadap aturan melalui interaksi antar individu, diantarai oleh penggunaan simbol -simbol, interpretasi atau yang lebih menekankan pada bahasa tubuh dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing -masing. Untuk membahas masalah ini tidak terlepas dari teori stratifikasi konflik Intensitas dominasi dari Randall Colins (1975) yang dilakukan oleh warga perwira dengan menggunakan sumber -sumber kekuasaan berupa posisi atau pangkat yang dapat memberikan perubahan kepada kelompok. Hal tersebut dapat memicu pola defiance terjadi karena warga perwira terbukti melakukan kekerasan secara simbolik terhadap pihak keamanan perumahan. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan intensitas dominasi berupa kekuasaannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan -tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (non ve rbal). Terbukti dari penelitian yang telah dilakukan ketika salah seorang warga berinteraksi dengan pihak penanggung jawab keamanan yang menunjukan rasa kekecewaanya melalui simbol -simbol non verbal. Warga perwira, yang menganggap pihak pengamanan ini tida k dapat menjalankan fungsinya dengan baik dengan menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa kurang senang seperti menggelengkan kepala dengan raut wajah yang penuh kesal. Simbol -simbol ini menyampaikan pesan bahwa warga perwira tidak simpati atau kecewa terhadap tindakan pihak pengamanan sehingga membuat pihak lawan merasakan tekanan meskipun tidak di representasikan melalui verbal atau ucapan. Collins memiliki tiga prinsip yaitu , (1) Collins yakin bahwa orang hidup dalam dunia subjektif yang diban gun sendiri , (2) orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengala man subjektif seorang individu , (3) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akibatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik antar individu. Konflik yang terjadi didalam ko mplek perumahan militer yaitu antara warga perwira dengan pihak penanggung jawab perumahan. Melalui analisis pendekatan teori konflik Randall Collins lebih kepada konflik individual yang terjadi karena adanya kekuasaan

PAGE – 6 ============
Jurnal Paradigma. Volume 01 Nomor 03 Tahun 2013 dan k ekuatan untuk saling mempengaruhi orang lain dan terjadilah konflik antar individu, selain itu faktor posisi disatuan kerja seseorang maka dari itu individu terbukti tidak dapat memposisikan peran dan statusnya sebagai warga masyarakat untuk mengikuti atur an yang berlaku. Selain itu khususnya warga perwira yang menjadi penyebab utama timbulnya konflik peran dan status yang dialami oleh pihak penanggung jawab RT seperti Ketua RT, RW beserta panitia. Pada pembahasan bab II sebelumnya, telah dibahas unsur -unsu r startifikasi. Dalam konflik yang terjadi didalam ko mplek perumahan militer berhubungan dengan unsur stratif ikasi yaitu status dan peran sos ial. Dapat diperdalam lagi melalui analisis tentang konflik status dan konflik peran untuk membahas beberapa kasus pada warga perwira TNI. Konfl ik status bersifat individual yang tejadi di komp lek perumahan militer. Konflik status yang dirasakan seseorang dalam batinnya sendiri. Terjadi ketika seorang ketua RT memiliki dua status yang juga merupakan anggota militer kel as bawah. Harus dapat memposisikan menjadi ketua RT yang tegas dan juga sebagai anggota militer berpangat bawah yang harus selalu tunduk dan patuh jika berhadapan dengan warga perwira yang diaturnya. Konflik status terjadi jika individu dalam masyarakat ya ng memiliki lebih dari satu status dan harus memilih status itu dalam waktu yang bersamaan. Konflik status bersifat antar individu yang tejadi karena perbedaan strata sosial di komplek perumahan militer . Konflik status yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena status yang dimilikinya. Dalam realitasnya, ketua RT atau panitia RT (anggota militer kelas bawah) sering berselisih paham dengan warga komplek (anggota militer kelas atas) yang diaturnya. Permasalahan tersebut timbul karena perilaku seseorang berpikir membanding -bandingkan sumber daya yang dimiliki yakni generalized cultural berupa otoritas dan pengetahuan warga perwira yang lebih tinggi dan particularized cultural yaitu posisi atau pangkat di satuan kerja yang lebih t inggi (Narwoko,2004:21). Sedangkan konflik peran yang lebih terlihat didalam komplek perumahan militer , terjadi apabila seseorang merasa dirinya tertekan dalam membawakan peran yang disandangnya. Konflik peranan timbul apabila seseorang harus memilih pera nan dari dua atau lebih status yang dimilikinya. Pada umumnya konflik peranan timbul ketika seseorang dalam keadaan tertekan, karena merasa dirinya tidak sesuai atau kurang mampu melaksakan peranan yang diberikan masyarakat kepadanya. Akibatnya, ia tidak m elaksanakan peranannya dengan ideal/sempurna. Konflik dalam satu peran, yaitu suatu konflik yang terjadi karena seorang individu dalam waktu yang sama harus melakukan peranan yang berbeda. Misalnya, seorang ketua RT yang juga merupakan seorang prajurit mil iter dalam mengatur para warganya yang memiliki pangkat lebih tinggi darinya di dalam komplek militer mengalami hambatan karena warga perwira cenderung ingin menggunakan kekuasaan sehingga peran ketua RT menjadi tidak berjalan dengan baik dalam mengaturnya . Seharusnya warga perwira dapat memposisikan diri sebagai warga masyarakat yang baik dan taat terhadap aturan. PENUTUP Simpulan Pola defiance yang dilakukan oleh para warga khusunya warga perwira dapat dikategorikan melalui 3 bentuk yaitu verbal, sikap apatis dan simbolik. Setelah peneliti mendapat data berupa bukti konflik dan pola defiance terjadi maka dapat diketahui yang paling sering dilakukan oleh warga perwira a dalah sikap apatis. Sebagian besar warga perwira paling banyak melakukan pola defiance dengan sikap diam, acuh tak acuh, masa bodoh, cuek dan tidak mempunyai minat atau perhatian terhadap perkembangan situasi lingkungan sekitar yang ada. Ketiga kategori pola defiance yang terjadi dapat menimbulkan konflik peran dan status yang dialami ole h ketua RT atau anggota panitia (pihak penanggung jawab). Terbagi menjadi dua kategori konflik status yang dirasakan seseorang dalam batinnya sendiri. Terjadi ketika seorang ketua RT memiliki dua status yang juga merupakan anggota militer kelas bawah. Haru s dapat memposisikan menjadi ketua RT yang tegas dan juga sebagai anggota militer berpangat bawah yang harus selalu tunduk dan patuh jika berhadapan dengan warga perwira yang diaturnya. Saran Melihat kepada sebab -sebab terjadinya masalah sosial khususnya y ang terjadi di perumahan yang homogen profesinya sehingga terdapat lapisan pangkat, maka kita selaku pelaku sosial harus mampu meredam penyebab masalah sosial yang dapat menyebabkan akibat yang buruk dan berakhir pada ketidaknyamanan warga. Perlu adanya ko mitmen yang kuat dari masyarakat agar menjaga dan memelihara kenyamanan lingkungan perumahan sehingga tidak ada konflik dan pola defiance yang terjadi agar tercipta kenyamanan lingkungan dapat di tingkatkan. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan meli hat pola defiance dan konflik berdasarkan stratifikasi sosial dan penelitian yang bersifat kualitatif.

287 KB – 7 Pages