Ini artinya pandang-pandangan filosofi masih diperlukan dalam merumuskan praktek-praktek pendidikan yang ada pada saat sekarang.
14 pages

101 KB – 14 Pages

PAGE – 1 ============
Relasional Ilmu Filsafat D engan Pendidikan ( Icam Sutisna. Pe n d idikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini , Unive rsitas Negeri Gorontalo ) Abstrak Icam Sutisna . Ilmu Filsafat meru pakan bagian yang tidak bi s a dipisahkan dalam praktik pendidikan , namun k eberadaan ilmu filsafat ini seperti nya sudah mu lai ditinggalkan. M engingat ilm u Filsafat merupakan bagian yang tidak bisa di pisahkan dalam p endidikan maka pada tulisan ini b erusaha untuk mengkokoh kan ke mbali relasi antara ilm u fils afat dengan pendidikan. C ara yang digunakan untuk mengetahui relasi antara filsafat dengan pendidikan pen ulis menggunaan studi literatur. B erdasarkan hasil studi literatur jelas menunjukan relasi antara ilmu filsa fat dengan prak tek pendidikan se perti dalam perumusan kuri kulum dan teori – teori pendidikan. Keyword : filsafat, pendidikan A. PENDAHULUAN Ilmu filsafat menjadi bidang ilmu yang keberada anya pada saat sek arang kurang mendapatkan perhatian. K urang nya minat mempelajari filsafat mu ngkin karena disebabkan sulitnya mempelajari fil safat atau juga kurangn ya releva n si llmu tersebut dengan realitas kehi du pan d i era sekarang ini yang notabene lebih cenderung pada pragmatism . K esadaran mempelajari filsafat harusnya muncul dari para akademis yang berkecimpung didalam dun ia pendidikan . I lmu filsafat ini secara sadar atau tidak sadar ikut serta dalam praktek – praktek pendi dikan yang selama ini dilakukan. M isalnya dalam teori – teori pendidikan, ilmu filsafat menjadi dasar muncul nya teori – te ori pendidikan tersebut. S elain masuk dalam ranah teori – teori pendidikan fil safat juga masuk dalam praktek pendidikan misalnya dalam menen tukan arah kegiatan pendidikan dalam bentuk kurikulum. Coba anda perhatikan p asti akan ditemukan setiap naskah kur ikulum yang digunakan selalu mencantu kan landasan filosofis pendidikan . I ni artinya pandang – pandangan filosofi masih diperlukan dalam merumuskan praktek – praktek pendidikan yang ada pada saat se karang. L alu bagaimana sebenarnya relasi ilmu filsafat dan pendidikan dalam prakteknya . M aka dalam tulisan ini berusaha untuk mendeskripsikan relasi antara ilmu filsafat dengan pendidikan. Untuk membahas tentang filsafat dan pendidikan, dalam tulisan ini saya akan buat dalam tiga

PAGE – 2 ============
pembahasan besar yaitu 1) tentang filsafat. Pembahasan ini akan membahas ruang lingkup tentang filsafat seperti definisi, ciri – ciri filsafat, jenis – jenis filsafat, manfaat filsa fat dan filsafat pendidikan . Mudah – mudahan dengan memahami ruang lingkup filsafat ini bisa memberikan pengetahuan secara menyeluruh tentang filsafat. 2 ) tentang pendidikan. Pembahasan ini akan membahas ruang lingkup pendidikan seperti definisi, landasan, aliran – aliran dalam Pendi dikan. Dan 3) membuat relasi antara filsafat dan pendidikan . B. FILSAFAT Apa sesungguhnya filsafat itu? Pertanyaan seperti ini biasa banyak muncul pada orang – orang yang baru mengenal atau mempelajari filsafat seperti saya ini. Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya harus mencari buku – buku atau referensi yang kira nya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Tentunya buku yang harus dicari yaitu buku – buku yang membahas tentang filsafat. Dari beberapa buku yang saya temukan dan saya baca maka ditemu ka n lah informasi mengenai filsafat, dan informasi tersebut cukup memberikan gambaran apa sesungguhnya filsafat itu. Untuk membahas apa filsafat saya akan mulai dari pengertian filsafat . Dalam buku Filsafat Umum yang ditulis oleh Achmadi (2003:1), ditulisan bahwa filsafat secara etimologi berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata Filsafat juga berasal dari kata Yunani Philosophis yang berasal dari kata kerja philein yang berarti men cintai, atau philia yang berarti cinta, dan Sophia yang berarti kearifan. Dalam Bahasa Inggris disebut dengan philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Di Indonesia sendiri menggunakan kata filsafat, kata sifatnya yaitu filsafati bukan filosofis. Apabila mengacu pada orangnya, kata yang tepat digunakan yaitu filsuf dan bukan filosof. Kecuali jika digunakan kata filosofi dan bukan filsafat maka ajektivnya yang tepat adalah filosofis, sedangkan mengacu kepada orangnya yaitu filosof (Rapa r, 1996:14) Suriasumantri dalam Ilmu dalam perspektif (2003:4) menyebutkan bahwa filsafat adalah suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam – dalamnya. Pemikiran serupa mengenai filsafat dikemukakan oleh Latif (2014:4) filsafat adalah hasil akar seorang manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan

PAGE – 3 ============
sedalam – dalamnnya (radic). Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh – sungguh hakikat keberaan segal a sesuai. Kemudian lebih rinci pengetian filsafat ditulisan oleh Muliono ( 2019:9) yang menyatakan bahwa filsafat adalah refleksi rasional, kritis dan radikal mengenai hal – hal mendasar dalam kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan refleksi rasional disini ia lah merupakan perenungan yakni perenungan ilmiah, yang tidak bertolak dari wahyu, tradisi apalagi mitos melainkan semata – mata bersandar pada rasio atau akal dan penalaran. Adapun refleksi kritis bermakna filsafat merupakan seni bertanya mempertanyakan apap un tanpa tabu, mempertanyakan apa yang ada (being) maupun yang mungkin ada, sehingga filsafat kerap disebut berpikir spekulatif. Pertanyaan yang diajukan filsafat memiliki ciri khas yang mendalam (radikal), dimana pertanyaan tersebut diperdalam sampai ke a kar – akarnya. Berdasarkan ketiga definisi filsafat tersebut diatas sangat jelas menunjukan bahwa filsafat sangat ditentukan oleh kemampuan manusia dalam menggunakan rasio atau akalnya dalam berpikir mempertanyakan sesuatu sampai pada akar (radic) atau pada hal yang sangat mendasar dan juga berpikir untuk menjawab setiap pertanyaan sampai pada kebenaran yang sebenar – benarnyanya atau pada hakikat kebenaran itu sendiri. Kekuatan berpikir dengan menggunakan rasio atau akal menjadi bagian yang sangat penting un tuk menunjukan eksistensi diri seorang manusia. Hal besar yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya yaitu diberikan kemampuan berpikir, sehingga dengan kemampuan ini manusi a bis a survive dan melangsungkan kehidupannnya kearah yang lebih baik dari wakt u ke waktu. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang, yang sama – sama mereka diberikan otak untuk berpikir, namun kemampuanya tersebut tidak berkembang sehingga tidak ada perubahan kearah yang lebih baik dan major. Kondisi seperti ini pulalah yang sebagaimana dikemukakan oleh Descrates 1. Berpikir Filsafat Berpikir menjadi salah satu karakateristik kehidupan manusia, dengan berpikir manusia akan eksis dalam kehidupannya, oleh sebab itu agar manusia senantiasa keberadaanya diakui oleh lingkungan maka dia harus berpikir mengenai dirinya dan lingkunga nya. Ada 4 (empat) jenis berpikir yang dilakukan manusia (Toenlioe, 2016 : 2 – 5), yaitu berpikir awam, berpikir ilmah,

PAGE – 4 ============
berpikir filsafat dan berpikir religi. Yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu berpikir filsafat, namun sekilas akan dijelaskan tiga jen is berpikri lainnya selain filsafat. Berpikir awam yaitu berpikir yang dilakukan oleh orang kebanyakan, tanpa menggunakan kerangka teori atau ilmu tertentu. Kemudian berpikir ilmiah yaitu berpikir secara keilmuan. Berikutnya berpikir religi yaitu cara berp ikir yang berbasis pada suatu yang diyakini sebagai kebenaran hakiki. Seperti yang dikemukakan diatas bahawa akatifitas manusia dalam menjalani kehidupan sehari – sehari selalu dihadapkan dalam aktifitas berpikir, beragam masalah datang untuk kita selesaikan dengan memikirkan cara penyelesaiannya. Keadaan berpikir sehari – hari yang dilakukan oleh manusia untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ditemukannya menjadi ciri dari orang tersebut sedang berfilsafat. Apakah orang lapar dan kemudian berpi kir untuk mencari solusi agar tidak lapar, itu juga merupakan berpikir filsafat, tentu menurut saya itu b ukan ciri berfikir filsafat. Untuk menjawab seperti apa cara berpikir orang filsafat, berikut ini karakteristik cara berfikir filsafat (Latif, 2014:4) yaitu : 1. Bersifat menyeluruh maksudnya seorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya megenal ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin mengetahui hakikat ilmu dari sudut pandang yang lain, kaitanya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilm u ini membawa kebahagiaan dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak akan merasa sombong dan mengangkuk paling hebat atau diatas langit masih ada langit, sebagaimana Socrates yang meyatakan tidak tau apa – apa. 2. Bersifat mendasar, maksudnya sifat yang tidak begitu saja percaya bahwa ilmu itu benar, mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu benar sendiri itu apa? Seperti suatu pertanyaan yang melingkar yang harus dimulai dengan me nentukan titik yang benar. 3. Bersifat spekulatif, maksudnya menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik, akhirnya dibutuhkan suatu sifat spekulatif baik dari segi proses, analisis maupun pembuktiannya, s ehingga dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak. Lebih rinci bagaimana cara berpikir filsafat dikemukakan oleh Achmadi (1995:4), yaitu sebagai berikut :

PAGE – 5 ============
1. Harus sistematis. Pemikiran yang sistematis ini dimaksudkan untuk menyusun suatu pola pengetahuan y ang rasional. Sistematis adalah masing – masing unsur saling berkaitan satu dengan yang lain secara teratur dalam suatu keseluruhan. 2. Harus konsepsional. Secara umum konsepsional berkaitan dengan ide atau gambaran yang melekat pada akal pikiran yang berada da lam intelektual. Gambaran tersebut mempunyai bentuk tangkapan sesuai dengan nilainya. 3. Harus koheren. Koheren atau runtut adalah unsur – unsurnya tidak boleh mengandung uraian – uraian yang bertentangan satu sama lainnya. Koheren atau runtut didalamnya memuat s uatu kebenaran logis. 4. Harus rasional, yaitu unsur – unsurnya berhubungan secara logis. Artinya pemikiran filsafat harus diuraikan dalam bentuk yang logis. 5. Harus sinoptik, yaitu pemikiran filsafat harus melihat hal – hal secara menyeluruh atau dalam keadaan kebersamaan secara integral. 6. Harus mengarah kepada pandangan dunia. Pemikiran filsafat sebagai upaya untuk memahami semua realitas kehidupan dengan jalan meyusun suatu pandangan (hidup) dunia, termasuk didalamnya menerangkan tentang dunia dan semua hal ya ng berada didalamnya (dunia). Karakteristik berfikir filsafat juga dikemukakan oleh Nasution (2016: 30 – 31), yaitu sebagai berikut : 1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar – akar persoalan. 2. Universal, yaitu berpikir secara menyeluruh. Tidak terbatas pada b agian – bagian tertentu, tapi mencakup keseluruhan aspek yang konkret dan abstrak atau yang fisik dan metafisik. 3. Konseptual, merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. 4. Koheren dan konsisten yaitu sesuai dengan kaidah – kaidah berpikir logis . Sedangkan konsisten adalah tidak mengandung kontradiksi. 5. Sistematik, yaitu berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah (step by step) penuh kesadaran, berurutan dan penuh rasa tanggung jawab. 6. Komprehensif. Mencakup atau menyeluruh 7. Bebas. Pemikiran filsafat boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka – prasangka social, historis, kultural bahkan religious.

PAGE – 6 ============
8. Bertanggungjawab. Seseorang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhada p hasil pemikirannya paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri. Berpikir filosofis yaitu berpikir untuk memahami hakikat dari kenyataan dalam rangka menemukan kebenaran sejati. K a l au berpikir ilmiah adalah berpikir yang menggunakan hasil penelitian ilmi ah sebagai acuan, maka pada berpikir filosofis sang pemikir tidak lagi tergantung pada hasil penelitian ilmiah. Hasil penelitian ilmiah berupa teori masih tetap digunakan dalam berpikri filosofis, namun kesimpulannya tidak lagi ilmiah dan dapat dibuktikan secara empiris, melainkan bersifat holistic, radikal, dan spekulatif (Poedjawinatna, dalam Tienlioe, 2016:4). Pada berpikir filosofis, sang pemikir berusaha mendapatkan jawaban tentang makna di balik sesuatu yang ilmiah dan juga segala hal yang nyata ada d an mungkin ada namun tidak atau belum terjangkau kajian ilmiah. Oleh karena itu, filsafat antara lain disebut metafisika atau makna dibalik obyek – obyek yang dapat diindera, mapun yang diduga ada, namun tidak terindera. Untuk sampai pada berpikir filosofis, maka ada obyek yang menjadi focus berfiksi. Obyek berfikir filosofis adalah sesuatu dibalik hal – hal yang ada dan yang mungkin ada. Sesuatu di balik hal – hal yang ada adalah hal – hal yang dapat diamati, maupun hal – hal dibalik hasil kajian ilmiah. Sedangkan h al – hal dibalik sesuatu yang mungkin ada adalah hal – hal yang dipikirkan ada berdasarkan kenyataan yang ada, namun tidak mungkin ada atau belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Kenyataan yang ada namun tidak atau belum dapat dijelaskan secara ilmah tersebut, misalnya hal – hal yang nyata dan diyakini dalam religi, termasuk agama. Berdasarkan penjelasan dari ketiga sumber tersebut diatas, jelas bahwa kegiatan berpikir filsafat tidak sama dengan kegiatan berpikir sehari – hari yang biasa dilakukan oleh kebanyakan or ang pada umumnya. Berfikir filsafat memiliki karakteristik tersendiri dan ada kaidah – kaidah didalamnya yang harus diikuti sehingga proses berpikir yang diakukan oleh seseorang itu masuk dalam kategori berfikir filsafat. Karakteristik berpikir filsafat berd asarkan ketiga sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik berpikir filsafat meliputi harus sistematis, bersifat universal, radikal (mendasar), rasional, menyeluruh, koheren, konseptual, bebas dan bertanggungjawab. 2. Kegunaan Filsafat Filsafat mer upakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu filsafat harus memiliki kegunaan atau kemanfaatan bagi yang menggunakannya. Oleh sebab itu pada bagian ini akan dijelaskan beragam

PAGE – 8 ============
berdasarkan pada struktur pengetahuan filsafat yang berkembang sekarang ini, terbagi menjadi tiga bidang, yaitu filsafat sistematis, filsafat khusus dan filsafat k eilmuan. Filsafat Pendidikan masuk dalam ranah filsafat khusus . Filsafat Pendidikan menjadi bagian yang perlu dijabarkan agar kita bisa mengetahui bagaimana relasi filsafat dan Pendidikan. Filsafat Pendidikan di kaji secara khusus pada cabang filsafat khus us atau juga biasa disebut dengan filsafat terapan. Filsafat pendidikan sudah menunjukan adanya relasi yang kuat antara filafat dan pendidikan, oleh sebab itu sebagi akademisi atau ilmuwan harus mengetahui bagaiaman relasi filsafat dan pendidikan tersebut. Menurut Jalaluddin dan Idi terdapat hubungan fugsional antara filsafat dan teori pendidikan yaitu sebagai berikut : (1) filsafat, dalam arti filosofis merupakan suatu ciri pendekatan yang dipakai dalam memecahkan probelmatika pendidikan dan menyusun teori – teori pendidikan oleh para ahli; (2) filsafat, berfungsi memberi arah bagi teori pendidikan yang telah ada menurut aliran filsafat tertentu yang memiliki relevansi dengan kehidupan yang nyata; (3) filsafat, dalam hal ini filsafat pendidika n mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arahan dalam pengembangan teori – teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan (Amirudin, 2018:17). Berdasarkan hubungan fungsional tersebut di atas berarti filsafat memiliki peran yang sangat penting dalam melahi rkan teori – teori pendidikan yaitu sebagai dasar atau pondasi. Tanpa adanya filsafat, teori pendidikan tidak akan terarah dengan baik. Selanjutnya dengan filsafat pendidikan akan lahir teori – teori pendidikan yang berkembang menjadi ilmu pendidikan yang mend alam dan komprehensif. Jalaluddin dan Idi lebih lanjut mengemukakan bahwa antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan terdapat hubungan yang suplementer yaitu filsafat pendidikan sebagai sesuatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatian dan memusatkan kegiatanya pada dua fungsi tugas normative ilmiah yaitu : 1. Kegiatan merumuskan dasar – dasar, tujuan – tujuan pendidikan, konsep tentang hakikat manusia, serta hakikat dan segi pendidikan 2. Kegiatan merumuskan system atau teori pendidikan yang meliputi politik pendidikan, kepemimpinana pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, termasuk pola – pola akulturasi dan peran pendidikan dalam pembangaunan masyarakat

PAGE – 9 ============
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa antara filsfat dan pendidikan terdap at hubungan yang erat sekali dan tidak bias dipisahkan. Filsafa mendasari adanya pendidikan, sehingga teori – teori pendidikan yang muncul secara filosiofis mendasar, bermakna dan subtantif . C. PENDIDIKAN Pendidikan menjadi sarana bagi individu untuk mengembangkan potensi diri. Setiap manusia sudah diberkati dengan potensi oleh Tuhan s ejak lahir, namun potensi tersebut tidak akan berkembang dengan baik jika tidak distimulasi melalui pendidikan baik formal, nonformal dan informal. Dalam Undang – Undang sy stem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritu al keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Manusia menjadi objek sekaligus subyek dalam pendidikan. Manusia mampu memikirkan dirinya untuk berkembang kearah yang lebih baik, bahkan dalam konteks kepentingan pendidikan manusia memikirkan dirinya sendiri serta mempertanyakan dirinya sendiri sampai pada hal yang sangat mendasar. Misalnya mempertanyakan dirinya sendiri seperti siapakah manusia itu?, apakah manusia bias dididik?. Pertanyaan – pertanyaan seperti itu muncul pada diri manusia sendiri, kalau saja manusia itu buka n makhluk berpikir ( homo sapiens) tentu manusia tidak akan mampu berpikir untuk memikirkan dirinya sendiri. Disinilah peran para filoso f dalam berpikir filsafat dimana mereka menggali keingintahuan yang sangat dalam (c u riuousity ) tentang identitas manusia, sehingga hasil pemikiran – pemikiran mereka inilah yang akan menjadi dasar pelaksanaan pendidikan yang ada saat sekarang ini. Pertanyaan tentang siapakah manusia itu menjadi hal subtantif yang harus dicarikan jawabannya, karena dengan mengetahui siapa diri manusia itu maka akan tahu apa yang harus dilakukan pada manusia itu sendiri. Misalnya yang dikemukakan oleh Plato bahwa manusia itu ad alah esensi manusia itu adalah bersifat kejiawan, spiritual dan rohani. Lain halnya yang dikemukakan oleh Descrates yang menyebutkan bahwa manusia adalah memiliki dua subtansi yaitu roh dan jiwa . Perbedaan sudut pandang dalam memandang manusia memperkaya

PAGE – 10 ============
i nformasi tentang manusia itu sendiri, sehingga informasi – informasi ini akan sangat bermanfaat untuk kehidupan manusia di masa yang akan dat a ng. Pada posisi ini manusia menjadi obyek filsafat sekaligus menjadi subyek filsafat. Para pemikir atau filosof sec ara lebih subtantif juga mempertanyakan tentang apakah manusia itu dengan beragam informasi yang dikemukakan sebelumnya tentang diri manusia mampu dididik. Seperti yang dikemukakan pada pengertian pendidikan yang disebutkan bahwa pendidikan salah satunya y aitu untuk menstimulasi potensi – potensi yang ada pada diri anak. Definisi ini sebenarnya lahir dari akar berpikir filosof yang sudah ada sebelum definisi itu lahir. Dalam ilmu pendidikan di kenal dengan istilah landasan filsosifis pendidikan. Setidaknya a da tiga pandangan filsafat yang memandang tentang apakah manusia itu bias dididik atau atau tidak. Dengan potensi yang sudah ada sejak lahir apakah potensi itu akan berkembang dengan sendirinya atau perlu media untuk menstimulasi potensi yang ada pada manu sia itu agar dapat berkembang dengan sempuran. 1. Pandangan empirisme . Aliran empirisme itu dipelopori oleh tokoh kebangsaan Inggris yaitu John Lock. Aliran ini memandang bahwa anak itu seperti kertas kosong atau biasa dikenal dengan istilah Tabularasa. Menur ut John Lock bahwa anak lahir tidak secara otomatis memiliki potensi pada dirinya. Potensi – potensi yang ada pada anak diperoleh melalui pengalaman interaksi anak dengan lingkungan termasuk didalamnya yaitu lingkungan pendidikan. Lock menekankan pentingnya lingkungan bagi anak, karena menurutnya lingkunganlah yang memberikan warna kepada kertas kosong atau anak tersebut. 2. Pandangan Nativisme. Aliran ini dipelopori oleh tokoh yang berasal dari Jerman yaitu Arthur Scopenhour. Aliran ini memandang bahwa anak pad a dasarnya keitka lahir sudah memiliki potensi. Hal ini bertolak belakang dengan aliran empirisme yang menganggap manusia lahir seperti kertas kosong. Menurut aliran nativisme potensi – potensi yang ada pada anak sejak lahir akan berkembang secara sendirinya tanpa harus adanya pengaruh pada lingkungan. Factor hereditas sangat menentukan pada paham ini. Lingkungan bagi paham nativisme tidak memberikan kontribusi pada perkembangan potensi anak. Anak ini juga menganggap sekolah bukan menjadi prioritas. 3. Pandangan Konvergensi. Airan ini dipelopori oleh tokong yang berasal dari Jerman yaitu William Setern . Aliran ini menyatukan dua pandangan yang berbeda yaitu empirisme dan nativisme. Menurut William Setern bahwa potensi dan lingkungan dua hal yang sangat

PAGE – 11 ============
penting ba gi perkembangan anak. Anak lahir sudah termasuk dengan potensi – potensi yang dibawanya sejak lahir, kemudian potensi – potensi tersebut harus di kembangkan atau distimulasi agar dapat berkembang dengan baik. Lingkunganlah yang menstimulasi potensi tersebut, d iantarnya yaitu lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat. Ketiga pandangan tentang manusia ini menjadi penting bagi operasional pendidikan pada saat sekarang ini. Jadi benar sudah bahwa filsafat menjadi landasan untuk pelaksanaan pendidikan yang ada sekarang ini, dengan filsafat akan akan ada arah kemana pendidikan ini akan dibawa. Pendidikan tidak sekedar hanya dipandang sebagai wadah untuk mestimulasi potensi anak agar berkembang kearah yang lebih baik, namun pendidikan harus dipandang leb ih jauh dari yaitu memanusiakan manusia. Realtiasnya memang filsafat dalam tindakan pendidikan sangat diperlukan sebagai pondasi dan juga dalam menentukan arah pendidikan. Dalam beberapa rumusan pendidikan misalnya dalam merumuskan kurikulum itu selalu ada keterlibatan filsafat didalamnya. Filsafat menjadi landasan dalam menyusun kurikulum pendidikan di Indonesia. Ambil contoh yaitu kurikulum pendidikan anak usia dini. Pada buku kerangka dasar kurikulum pendidikan anak usia dini disebutkan bahwa kurikulum 2 013 pendidikan anak usia dini dikembangkan atas landasan filosofis sebagai berikut (Suminar, dkk. , 2015 : 4) 1. Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini mengenalkan pengalaman belaj ar dalam konteks budaya Indonesia. Budaya menjadi latar, sekaligus konten dalam pembelajaran PAUD untuk membangun kompetensi diri yang diperlukan bagi kehidupan di masa kini dan masa depan yang menunjang pengembangan budaya secara kreatif. 2. Peserta didik ad alah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini mengenalkan budaya bangsa sebagai milik kehidupan anak. Anak diharapkan peduli, mengenal, menyayangi, dan bangga terhadap budaya bangsa yang harus dirawat dan dilestarikan s erta dijadikan latar kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 3. Peserta didik adalah pembelajar yang aktif dan memiliki talenta untuk belajar mengenai berbagai hal yang ada di sekitarnya. Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini, memfasilitasi anak membangun p engalaman melalui proses belajar aktif sesuai dengan

101 KB – 14 Pages