by P Wahana · Cited by 4 — lam realitanya tidak ada benda “kebenaran”, yang ada dalam ke- Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan ke- gunaan. Ide, konsep, pernyataan
22 pages
102 KB – 22 Pages
PAGE – 1 ============
MENGUAK KEBENARAN ILMU PENGETAHUAN DAN APLIKASINYA DALAM KEGIATAN PERKULIAHAN Oleh: Paulus Wahana1 Abstract In discussing about lecturing (teaching and learning) at the higher education, we are usually too much concerned with the approaches, methods, media of lecturing, but do seldom or even never pay attention to the objectives of lectur ing. We are too much occupied with changing from one method of lecturing to another, for example, from active learning method, contextual method, con- structivistic method, student-base d curriculum, school-based curri- culum, competence-based curricu lum, up to curriculum of lesson unit level. Such a complicated thinking is futile unless people are real- ly concerned with directions and objectives of the lecturing activi- ties. In term of lecturing as a way of thinking, the planned activi- ties, we need previously to find out the direction and the goals of the activities, and then we may dr aw our attention to the methods in order to reach the ta rgeted goals. The targeted goals of lecturing are making students think clearly and distinctly, making students can find the truth of scientific knowledge, making students become problem finders and problem solvers. As academic activities, the lecturing processes should be held scientifically. In addition to obtaining clear scientific stuffs, the lecturing activities should support the students to find the truth of science. After comprehending all types of truth, we may start to find out the description of scientific trut h, as the targeted goal to pursue in the scientific activities. Furtherm ore, we may try to reveal and to find the truth of scientific knowledge in the lecturing activities. Through finding out the descrip tion of the truth during the lecturing activities, we expect to have appropriate orientation and steps of implementing the lecturing activities in order to reach the targeted goals of lecturing. By r eaching the goals of lecturing, the 1 Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pe ndidikan Universitas Sanata Dharma.
PAGE – 2 ============
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 274students are expected to find some benefits from the lecturing activities. Then the activities will not be considered as burden for the students, but rather as the act ivities resulting in mental rich- ness, generating enlightenment, and increasing students™ abilities. Keywords: lecturing activities, lecturing objectives, targeted goals, enlightenment, scientific truth, mental richness. A. PENDAHULUAN Kita memahami bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu proses kegiatan berpikir yang memiliki tujuan ( teleologis ), untuk memperoleh pengetahuan yang jelas (kejelasan) serta memperoleh pengetahuan yang benar (kebenaran) tentang yang dipikirkannya atau yang diselidikinya. (The Liang Gie, 1997: hal. 94-109). Perguruan Tinggi, sebagai lembaga ilmiah, merupakan tempat berbagai macam kegiatan ilmu pengetahuan dalam rangka mengusahakan tercapainya tujuan ke giatan ilmiah. Salah satu kegi- atan pokok untuk mengusahakan ilmu pengetahuan tersebut adalah kegiatan perkuliahan. Kegiatan perkuliahan diharapkan dapat me- ngantar, mendampingi mahasiswa mengusahakan demi tercapainya kejelasan dan kebenaran tentang pokok kajian tertentu. Agar kegiatan ilmiah dalam perkuliahan dapat sampai pada tujuan yang dikehendaki, perlu pemahaman tentang kebenaran il- miah. Dalam upaya membahas kebe naran ilmiah, tulisan ini terle- bih dahulu merupakan pengertian kebenaran, jenis-jenis kebenar-an, teori tentang kebenaran. Selanjutnya membahas salah satu jenis kebenaran, yaitu kebenaran ilmia h, sebagai kebenaran yang me- mang diusahakan dan dijadikan tuju an dalam kegiatan ilmiah. Pada bagian akhir ditempatkan pembahas an kegiatan perkuliahan seba- gai kegiatan ilmiah yang mengusah akan tercapainya kejelasan dan kebenaran ilmu pengetahuan. B. Menemukan Pengertian Kebenaran fiKebenaranfl merupakan kata benda. Namun janganlah ter- lalu cepat langsung menanyakan da n mencari benda yang namanya fikebenaranfl, jelas itu tidak akan ada hasilnya; itu merupakan usa- ha yang sesat. Meskipun ada kata benda fikebenaranfl, namun da- lam realitanya tidak ada benda fikebenaranfl, yang ada dalam ke- nyataan secara ontologis adalah sifat fibenarfl.
PAGE – 3 ============
Paulus Wahano, Menguak Kebenaran Ilmu 275Sebagaimana sifat-sifat lain pada umumnya, kita dapat me- nemukan serta mengenalnya pada hal yang memiliki sifat bersang- kutan, demikian pula sifat fibenarfl te ntu saja juga dapat dicari dan dapat ditemukan dalam hal-hal ya ng memiliki sifat fibenarfl terse- but. Misalnya sifat fibersihfl dapat ditemukan pada udara yang ber- sih, lantai yang bersih ; sifat fitenangfl dapat ditemukan dalam sua- sana kelas yang tenang, suasana ha ti yang tenang. Demikian pula sifat fibenarfl pada umumnya dapat ditemukan pada hal-hal berikut: pemikiran yang benar, jawaban yang benar, pengetahuan yang be- nar, penyataan yang benar, penjel asan yang benar, pendapat yang benar, pandangan yang benar, informasi yang benar, berita yang benar, tindakan yang benar, kebijaksanaan yang benar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat fibenarfl da- pat berada pada kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran yang da- pat diungkapkan dalam bahasa lis an maupun tertulis, yang berupa: jawaban, penyataan, penjelasan, pendapat, informasi, berita, tinda- kan, peraturan. Hasil pemikiran pada pokoknya menunjukkan ada atau tidak-adanya hubu ngan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan. Misalnya yang menunjukkan adanya hubungan: udara bersih, lampu menyala, ruma h terbakar api, binatang meng- gigit orang, orang makan mangga . Pernyataan yang menunjukkan tidak-adanya hubungan antara yang diterangkan dan yang mene- rangkan dinyatakan dengan menggunakan kata ™ tidak™. Contoh, pasar sayur ini tidak bersih, tanaman padi tidak subur, kambing tidak hidup di air, manusia tidak bersayap. Hasil pemikiran dikatakan benar, bila memahami bahwa ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, dan ternyata memang ada hubungan, atau memahami bahwa tidak ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, dan ternyata memang tidak ada hubungan. Hasil pemikiran dikata- kan salah, bila memahami bahw a ada hubungan antara yang dite- rangkan dengan yang menerangkan, pa dahal tidak ada, atau mema- hami bahwa tidak ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, padahal ada. C. Jenis-Jenis Kebenaran Karena kebenaran merupakan sifat dari pengetahuan, untuk membahas adanya berbagai kebenaran, kita perlu mengetahui ada- nya berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana pengetahuan da- pat dibedakan atas dasar berbagai kriteria penggolongan, demikian
PAGE – 4 ============
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 276pula berkenaan dengan kebenara n pengetahuan juga dapat digo- longkan atas dasar beberapa kriter ia (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003: hal. 136-138). Pertama , atas dasar sumber atau asal dari kebenaran pengetahuan, dapat bersumber an- tara lain dari: fakta empiris (keb enaran empiris), wahyu atau kitab suci (kebenaran wahyu), fiksi atau fantasi (kebenaran fiksi). Kebe- naran pengetahuan perlu dibuktikan dengan sumber atau asal dari pengetahuan terkait. Kebenaran pengetahuan empiris harus dibuk-tikan dengan sifat yang ada dalam obyek empiris (yang didasarkan pengamatan inderawi) yang menjadi sumber atau asal pengetahuan tersebut. Kebenaran wahyu sumbernya berasal dari wahyu atau ki- tab suci yang dipercaya sebagai ungkapan tertulis dari wahyu. Se- hingga yang menjadi acuan pembuktian kebenaran wahyu adalah wahyu atau kitab suci yang mer upakan tertulis dari wahyu. Se- dangkan kebenaran fiksi atau fantas i bersumber pada hasil pemiki- ran fiksi atau fantasi dari or ang bersangkutan. Dan yang menjadi acuan pembuktiannya adalah alur pemikiran fiksi atau fantasi yang terwujud dalam ungkapan lisan atau tertulis, visual atau auditif, atau dalam ungkapan keempat-empatnya. Kedua, atas dasar cara atau sarana yang digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Antara lain dapat mengguna- kan: indera (kebenaran inderawi), akal budi (kebenaran intelektu- al), intuisi (kebenaran intuitif), iman (kebenaran iman). Kebenaran pengetahuan perlu dibuktikan dengan sarana yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan terkait. Kebenaran pengetahuan indera- wi (penglihatan) harus dibuktik an dengan kemampuan indera un- tuk menangkap hal atau obyek inde rawi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penglihatan dapat menghasilkan pengetahuan tentang warna, ruang, ukuran besar/kecilnya obyek, serta adanya suatu gerak atau perubahan. Sesuai dengan perspektif penglihatan disadari bahwa penangkapan penglihat an sering tidak tepat. Kita mengalami tipu mata. Misalnya, bi ntang yang semestinya besar tampak di penglihatan sebagai bi ntang kecil; sepasang rel kereta api yang seharusnya sejajar ternyata tampak di penglihatan sebagai yang semakin menciut di kejauhan. Kebenaran intelektual didasar- kan pada pemakaian akal budi atau pemikiran agar dapat berpikir secara lurus, yaitu mengikuti kaidah -kaidah berpikir logis, sehing- ga tidak mengalami kesesatan dalam berpikir. Kebenaran intuitif didasarkan pada penangkapan bathin secara langsung (konkursif) yang dilakukan oleh orang bersangk utan, tanpa melalui proses pe-
PAGE – 5 ============
Paulus Wahano, Menguak Kebenaran Ilmu 277nalaran terlebih dahulu (diskursi f). Sedangkan kebenaran iman di- dasarkan pada pengalaman hidup yang berdasarkan pada keperca- yaan orang bersangkutan. Ketiga, atas dasar bidang atau lingkup kehidupan, membuat pengetahuan diusahakan dan dikemb angkan secara berbeda. Anta- ra lain, pengetahuan agama (kebenaran agama), pengetahuan moral (kebenaran moral), pengetahuan se ni (kebenaran seni), pengetahu- an budaya (kebenaran budaya), pengetahuan sejarah (kebenaran historis), pengetahuan hukum (keb enaran yuridis), pengetahuan politik (kebenaran politik). Kebe naran pengetahuan perlu dipahami berdasarkan bahasa atau cara me nyatakan dari lingkup/bidang ke- hidupan terkait. Misalnya, penilaia n baik atas tindakan dalam bi- dang moral tentu saja perlu dibedakan dengan penilaian baik ten- tang hasil karya dari bidang seni. Keempat, atas dasar tingkat pengetahuan yang diharapkan dan diperolehnya: yaitu pengetahuan biasa sehari-hari ( ordinary knowledge) memiliki kebenaran yang sifatnya subyektif, amat ter- ikat pada subyek yang mengenal, pengetahuan ilmiah ( scientific knowledge) menghasilkan kebenaran ilmiah, pengetahuan filsafati (philosofical knowledge) menghasilkan kebenara n filsafati. Krite- ria yang dituntut dari setiap tingkat kebenaran ternyata berbeda. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam pengetahuan biasa sehari cukup didasarkan pada hasil pengalaman sehari-hari, se- dangkan kebenaran pengetahuan ilmiah perlu diusahakan dengan pemikiran rasional (kritis, logis, dan sistematis) untuk memperoleh pengetahuan yang selaras dengan obyeknya (obyektif). D. Teori Kebenaran Teori kebenaran selalu para lel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Sebagaimana pengetahuan dilihat tidak secara menyeluruh, melainkan dari aspek at au bagian tertentu saja, demi- kian pula kebenaran hanya diperoleh dari pemahaman terhadap pe- ngetahuan yang tidak menyeluruh tersebut. Dengan demikian seti- ap teori kebenaran yang akan dibahas, lebih menekankan pada sa- lah satu bagian atau aspek dari proses orang mengusahakan kebe- naran pengetahuan. Berikut ini bebe rapa teori kebenaran yang me- nekankan salah satu langkah proses manusia mengusahakan penge- tahuan. Kelompok pertama terkait dengan bagaimana manusia me- ngusahakan dan memanfaatkan peng etahuan, yaitu teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran
PAGE – 6 ============
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 278pragmatis. Kelompok kedua terkait dengan bagaimana pengetahu- an itu diungkapkan dalam bahasa. Misalnya teori kebenaran sintak-sis, teori kebenaran semantis, dan teori kebenaran performatif. 1. Teori Kebenaran Korespondensi Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran korespondensi, yakni kebenaran sebagai persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Pernyataan dianggap benar ka- lau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya ke- terkaitan ( correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu. (Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2003: hal. 139). Benar dan salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenya taan sebagaimana adanya. Menu- rut teori ini, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subyek dan obyek. Apa yang diketahui oleh subyek sebagai benar harus sesuai atau harus cocok dengan obyek, harus ada kesesuaian dengan reali-tas. Apa yang diketahui oleh s ubyek berkaitan dan berhubungan dengan realitas. Materi penge tahuan yang dikandung dan diung-kapkan dalam proposisi atau pernyataan memang sesuai dengan obyek atau fakta. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenya- taan yang sesuai dengan ap a yang diungkapkan pengetahuan terse-but. Dalam kegiatan ilmiah, me ngungkapkan realitas adalah hal yang pokok. Dalam usaha mengungkapka n realitas itu, kebenaran akan muncul dan terbukti dengan sendirinya, apabila apa yang di- nyatakan sebagai benar memang sesuai dengan kenyataannya. Teori korespondensi sangat ditekankan oleh aliran empiris- me yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi se- bagai sumber utama pengetahuan manusia. Teori ini sangat meng- hargai pengamatan, percobaan at au pengujian empiris untuk meng- ungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Teori ini lebih menguta- makan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan perco- baan empiris. Teori ini sangat menekankan bukti ( evidence) bagi kebe- naran suatu pengetahuan. Yang dimaksud bukti bukanlah diberikan secara apriori oleh akal budi, bukan konstruksi akal budi, dan bu- kan pula hasil imajinasi akal budi. Bukti adalah apa yang diberikan dan disodorkan oleh obyek yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia. Kebenaran akan terbukt i dengan sendirinya, kalau apa yang dinyatakan dalam proposisi sesu ai atau ditunjang oleh kenya-
PAGE – 8 ============
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 280an kenyataan yang ada. Ini berarti pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi, yaitu memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi me mang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi-proposisi lain yang telah diterima sebagai be- nar. Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini bahwa kebenaran suatu pernyataan di dasarkan pada kaitan atau ke- sesuaiannya dengan pernyataan la in. Timbul pertanyaan, bagaima- na dengan kebenaran pernyataan lain tadi? Jawabannya, kebenar- annya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut se- suai dan sejalan dengan pernyataan lain lagi. Hal ini berlangsung terus sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa ada hentinya ( infi-nite regress atau regressus in infinitum ) atau akan terjadi gerak pu- tar tanpa henti. Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran koherensi ini penting, namun dalam kenyataannya perlu digabungkan dengan teori kebenaran korespondensi, yang menun- tut adanya kesesuaian dengan realitas (Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001: hal. 70). 3. Teori Kebenaran Pragmatis Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan ke- gunaan. Ide, konsep, pernyataan, at au hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling memung- kinkan seseorang melakukan sesuatu secara paling berhasil dan te- pat guna. Dengan kata lain, berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suat u ide benar atau tidak (Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001: hal. 71). Menurut Albertine Minderop dalam bukunya Pragmatisme Amerika (2005) teori kebenaran pragmatis ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatis dari Amerika, seperti Charles S. Pierce, William James, dan J ohn Dewey. Meskipun ketiga filsuf ini memiliki kesamaan pemahaman tentang kebenaran, yaitu kebe- naran sama artinya dengan ke gunaan, namun masing-masing me- miliki kekhususan dan penekanan yang berbeda. Charles S. Pierce berpendapat bahwa suatu proposisi dikatakan salah bila pengalam- an menyangkalnya, sedangkan bila pengalaman tidak menyangkal- nya maka proposisi itu dikatakan be nar. Esensi pragmatisme lebih dekat dengan the theory of meaning daripada the theory of truth. Teori pragmatisme merupakan metode menentukan arti ( meaning), yaitu suatu metode yang memperje las ide manusia dan memperje- las arti ide tersebut. Dan untuk menentukan sesuatu memiliki arti
PAGE – 9 ============
Paulus Wahano, Menguak Kebenaran Ilmu 281atau makna yang berkaitan dengan k onsekuensi, tidak terlepas dari tindakan. Walaupun demikian, ia tidak menyarankan bahwa untuk memahami suatu arti atau makna selalu harus diikuti dengan tinda- kan, demikian pula untuk menentuk an kebenaran selalu berdasar- kan verifikasi. Tidak semua kebenaran harus ditemukan melalui verifikasi, karena kebenaran tela h hadir sebagaimana adanya tanpa adanya verifikasi. Menurut William James, untuk memperoleh kejernihan pikiran kita tentang suatu obyek, kita harus memperha- tikan konsekuensi praktisnya. Prag matisme bukan sekedar metode memperjelas konsep untuk menentukan arti atau makna, tetapi le- bih merupakan teori kebenaran. Ke benaran tidak terletak pada hu- bungan kesesuaian dengan benda/obyek atau kenyataan, melainkan terlebih pada hubungan kesesuaian antara bagian-bagian penga- laman. Ide merupakan rencana atau aturan dalam bertindak; dan ide dikatakan benar, apabila rencana atau aturan tersebut mengacu pada hasil akhir; ide tertuju untuk melakukan suatu tindakan. Fungsi berpikir bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, mela- inkan membentuk ide tertentu de mi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Ide atau teori yang benar adalah ide atau teo- ri yang berguna dan berfungsi me menuhi tuntutan dan kebutuhan kita, serta memberikan kepuasan. William James lebih menekan- kan pada kepuasan individu, sedangkan John Dewey lebih menitik beratkan pada masyarakat. Menurut Dewey, kebenaran adalah ke- gunaan atau sesuatu yang bermanfaat , tetapi tidak sekadar bersan- dar pada kepuasan pribadi, melainkan selaras dengan penyelesaian masalah kehidupan secara umum dan obyektif. Dewey bisa mene- rima kepuasan emotif, selama ini bersifat umum dan merupakan masalah umum dan obyektif, bukan i ndividual atau pribadi (Alber- tine Minderop, 2005: hal 45-60). Kebenaran bagi kaum pragmatis mengandung suatu sifat yang baik. Suatu ide atau teori tida k pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melaku- kan sesuatu secara berhasil. Kebe naran rasional jangan hanya ber- henti memberi definisi-definisi ab strak tanpa punya relevansi bagi kehidupan praktis, melainkan pe rlu diterapkan sehingga sungguh- sungguh berguna bagi manusia. Kita tidak hanya membutuhkan fipengetahuan bahwafl dan fipengeta huan mengapafl tapi juga mem- butuhkan fipengetahuan bagaimanafl (Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001: hal. 73-74).
PAGE – 10 ============
Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 3, Desember 2008 2824. Teori Kebenaran Sintaksis Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai dalam suatu pernyataan atau tata-bahasa yang melekat. Kebenaran ini terkait dengan bagaimana suatu hasil pemikiran diungkapkan dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis) yang perlu dirangkai dalam suatu keteraturan sintaksis atau gramatika yang digunakannya (Tim Dosen Filsafat Ilmu Faku ltas Filsafat UGM, 2003: hal. 141). Teori ini berkembang di antara para filsuf analitika bahasa, terutama yang berusaha untuk menyusun bahasa dengan tata baha- sa dan logika bahasa yang ketat, misalnya Bertrand Russell, Lud- wig Wittgenstein (periode I). Aliran filsafat analitika bahasa me- mandang bahwa problema-problema f ilosofis akan menjadi terje- laskan apabila menggunakan analisis terminologi gramatika, dan bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari bahwa banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. Sehingga para tokoh filsaf at analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat ad alah menganalis a konsep-konsep. (Kaelan, 1998: 80). Bahasa memiliki peranan sentral dalam mengungkapkan secara verbal pandangan dan pemikiran filosofis, maka timbullah suatu masalah yaitu keterbatasan bahasa sehari-hari yang dalam hal tertentu tidak mampu mengungkapkan konsep filosofis. Bahasa sehari-hari memiliki banyak kelemahan, antara lain: kekaburan makna, tergantung pada konteks, mengandung emosi, dan menye- satkan. Untuk mengatasi kelemaha n dan demi kejelasan kebenaran konsep-konsep filosofis, maka pe rlu dilakukan suatu pembaharuan bahasa, yaitu perlu diwujudkan suatu bahasa yang sarat dengan lo- gika, sehingga kebenarannya da pat dipertanggungjawabkan (Kae-lan, 1998: 83). Menurut kelompok filsuf ini, tugas filsafat yaitu memba- ngun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi kelemah- an-kelemahan yang terdapat dala m bahasa sehari-hari. Usaha un- tuk membangun dan memperbaharui bahasa itu membuktikan bah- wa perhatian filsafat itu mema ng besar berkenaan dengan konsepsi umum tentang bahasa serta makna yang terkandung di dalamnya (Kaelan, 1998: 83). Ada berbagai cara untuk membangun dan mengembangkan bahasa yang dapat mengatasi ke lemahan-kelemahan yang terdapat dalam bahasa sehari-hari. Bertrand Russell menyatakan bahwa
PAGE – 11 ============
Paulus Wahano, Menguak Kebenaran Ilmu 283logika merupakan suatu yang fundame ntal dalam filsafat. Ia lebih menekankan logikanya bersifat atom is, sehingga ia lebih suka me- nyebut filsafatnya dengan nama ™a tomisme logis™. Struktur pemiki- ran atomisme logis diilhami oleh konsep Hume tentang susunan ide-ide dalam pengenalan manusia. Menurut Hume semua ide yang kompleks itu terdiri atas ide-ide yang sederhana atau ide yang ato- mis ( atomic ideas ), yang merupakan ide terkecil. Bertrand Russell menolak atomisme psikologisnya David Hume, karena analisisnya tidak dilakukan terhadap aspek psikologis, namun dilakukan terha- dap proposisi-proposisi (Kaelan, 1998: 87). Bertrand Russell ingin mengana lisis hakikat realitas dunia melalui analisis logis, karena ana lisis logis berdas arkan pada kebe- naran apriori yang sifatnya universal dan bersumber pada rasio ma- nusia. Sedangkan sintesa logis merupakan metode untuk menda- patkan kebenaran pengetahuan melalui pengetahuan empiris yang bersifat aposteriori. Pengetahuan pada hakikatnya merupakan per- nyataan-pernyataan yang tersusun menjadi suatu sistem yang me- nunjuk pada suatu entitas atau unsur realitas dunia; terdapat suatu kesesuaian bentuk atau struktur antara bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakt a, adapun fakta terungkapkan melalui bahasa, sehingga terdapat su atu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur realitas dunia (Kaelan, 1998: 99-100). Proposisi pada hakikatnya mer upakan simbol bahasa yang mengungkapkan fakta. Masing-masing proposisi atomis memiliki arti atau maksud sendiri-sendiri ya ng terpisah satu dengan lainnya. Untuk membentuk proposisi maje muk, maka proposisi-proposisi atomis tersebut dirangkaikan de ngan kata penghubung, yaitu ™dan™, ™atau™, serta kata penghubung lainny a. Kebenaran atau ketidakbe- naran proposisi-proposisi majemuk tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi-propo sisi atomis yang ada di dalam- nya. Dan karena proposisi pada hakikatnya merupakan simbol ba- hasa yang mengungkapkan fakta, maka fakta-fakta atomis menen- tukan benar atau tidaknya proposisi apapun juga (Kaelan, 1998: 104-105). Selain Bertrand Russell, kita juga akan melihat sekilas to- koh lainnya, yaitu Ludwig Wittgenstein, yang merupakan teman dekat Bertrand Russell, dan sekaligus juga sebagai tokoh aliran fil- safat atomisme logis. Wittgenstein menegaskan bahwa tugas filsa- fat adalah melakukan analisis tentang ungkapan-ungkapan, pro- blem-problem, serta konsep yang menggunakan bahasa yang me-
102 KB – 22 Pages