113 KB – 19 Pages

PAGE – 1 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and Regulations Dede Kania Fakultas Syari™ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Alamat: Jl. A.H. Nasution No. 105 Bandung 40614 Email: dekan_0607@. yahoo.co id Naskah diterima: 21/05/2015 revisi: 27/08/2015 disetujui: 13/11/2015 Abstrak Sampai saat ini hukum masih dianggap diskriminatif dan tidak berkeadilan gender. Padahal hukum seharusnya berkeadilan atau sensitif gender untuk menjamin terpenuhinya hak asasi perempuan. Dengan mengikuti prinsip persamaan hak dalam segala bidang, maka baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak atau kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga apabila terjadi diskriminasi terhadap perempuan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Pelanggaran hak asasi perempuan terjadi karena banyak hal, diantaranya adalah akibat sistem hukum, dimana perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Orde Reformasi merupakan periode paling progresif dalam perlindungan hak asasi manusia. Berbagai peraturan perundangan-undangan keluar pada periode tersebut, termasuk peraturan perundangan-undangan tentang hak perempuan. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kata Kunci: Hak Asasi Perempuan, Hukum, Keadilan Gender. Abstract Up to now, the law is still considered discriminatory and gender inequality. Though the law should be equal or sensitive to gender inequality to guarantee women™s rights. By following the principle of equality in all areas of the good men and women have equal rights or opportunities to participate in every aspect of social life and state. so if there is discrimination against women, it is a violation of women™s

PAGE – 2 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di IndonesiaThe Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 717rights. women™s rights violations occur due to many things, including the result of the legal system, where women are victims of the system. Reform Order is the most progressive period in the protection of human rights. Various laws and regulations come outin this period, including laws and regulations concerning women™s rights. Seen from the government™s efforts to eliminate discrimination based on sex are included in many legislations. Keywords : Women™s Rights, Law, Gender Inquity I. PENDAHULUAN Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip persamaan ini menghapuskan diskriminasi, karenanya setiap warga negara mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan. Moempoeni Martojo 1 mengatakan bahwa: fiIstilah warga negara sudah barang tentu mengandung pengertian baik wanita maupun priafl. Apa yang dikemukakan oleh Moempoeni Martojo adalah benar, sebab di mana pun negara di dunia ini, warga negaranya selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dengan adanya pengakuan persamaan hak warga negara, berarti antara laki-laki dengan perempuan tidak ada perbedaan. Diakuinya prinsip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan di dalam UUD menunjukkan para pendiri negara Indonesia, sebelum mendirikan negara, sadar betul tentang arti pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia itu. Secara yuridis, dalam tataran internasional maupun nasional, Instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui tentang adanya prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam tataran implementasi penyelenggaraan bernegara, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Kaum perempuan selalu tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, maupun dalam bidang politik. Salah satu penyebabnya adalah budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat adat Indonesia. Pada masyarakat dengan budaya patriarkhi, laki- laki lebih berperan dalam memegang kekuasaan, yang secara otomatis dapat mendegradasi peran dan keberadaan perempuan 2. Dengan mengikuti prinsip persamaan hak dalam segala bidang, maka baik laki-laki maupun perempuan 1 Moempoeni Martojo, Moempoeni Martojo, Prinsip Persamaan di Hadapan hukum bagi Wanita dan Pelaksanaannya di Indonesia, Disertasi, Semarang: Universitas Dipenogoro (UNDIP), 1999, h. 2. 2 Nalom Kurniawan, Hak Asasi Perempuan dalam Perspektif Hukum dan Agama, Jurnal Konstitusi, Vol. IV, No. 1, Juni 2011, h. 172.

PAGE – 3 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 718mempunyai hak atau kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga apabila terjadi diskriminasi terhadap perempuan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan. Lalu sejauh mana peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan Indonesia dalam pada orde reformasi memajukan perlindungan hak asasi perempuan? II. PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Hak Asasi Perempuan di Indonesia Kata hukum dalam dalam tulisan ini adalah hukum secara normatif, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang ditetapkan pada orde reformasi. Adapun isi perundang-undangan yang dipilih untuk diteliti dibatasi hanya pada peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dasar perempuan. Perjuangan kaum perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan yang telah dilakukan sejak dahulu, ternyata belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk dapat sejajar dengan kaum laki-laki. Sekalipun kekuasaan tertinggi di negeri ini pernah dipegang oleh perempuan, yakni Presiden Megawati Soekarno Putri, dan telah banyak kaum perempuan yang memegang jabatan strategis dalam pemerintahan, ketidakadilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagaimana yang diharapkan. Kaum perempuan tetap saja termarjinalkan dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang hukum. Hal ini merupakan tantangan berat bagi kaum perempuan dan pemerintah. Diantara Peraturan Perundang- undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005.

PAGE – 4 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di IndonesiaThe Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 7191. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Setelah merdeka selama 44 tahun, Indonesia baru mempunyai undang- undang HAM pada tahun 1999. Berbeda dengan Amerika, Inggris maupun Perancis, yang mempunyai bill of rights sejak awal kemerdekaannya, dan menjadikan bill of rights mereka sebagai bagian tidak terpisah dari konstitusi. Konstitusi Indonesia pada awalnya sangat sedikit sekali mengatur HAM. UU ini mengartikan HAM sebagai, fiseperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusiafl (Pasal 1 ayat (1)). Dengan adanya UU HAM, semua peraturan perundang-undangan harus sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM seperti diatur dalam UU ini. Diantaranya penghapusan diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Pelarangan diskriminasi diatur dalam Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi: fiSetiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasifl. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, ekonomi, budaya dan hukum. Pasal-pasalnya dalam UU HAM ini selalu ditujukan kepada setiap orang, ini berarti semua hal yang diatur dalam UU HAM ini ditujukan bagi semua orang dari semua golongan dan jenis kelamin apapun.2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pada awalnya tidaklah dianggap sebagai pelanggaran hak asasi perempuan. Letaknya pada ranah domestik menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib, maka biasanya cukup dijawab dengan selesaikan dengan kekeluargaan. Sebelum keluarnya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai.

PAGE – 5 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 720Kasus KDRT, sebelum keluarnya UU PKDRT selalu diidentikan sebagai sesuatu yang bersifat domestik, karenanya membicarakan adanya KDRT dalam sebuah keluarga adalah aib bagi keluarga yang bersangkutan. Sehingga penegakan hukum terhadap kasus KDRT pun masih sedikit. Penegakan hukum yang minim terhadap kasus KDRT diakibatkan beberapa hal, diantaranya pemahaman terhadap akar permasalahan KDRT itu sendiri baik dari perspekti hukum, agama maupun budaya. Untuk itu upaya diseminasi hak asasi perempuan harus dilakukan secara efektif untuk mengurangi jumlah korban yang jatuh akibat KDRT. Potret budaya bangsa Indonesia yang masih patriarkhis, sangat tidak menguntungkan posisi perempuan korban kekerasan. Seringkali perempuan korban kekerasan disalahkan (atau ikut disalahkan) atas kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki). Misalnya, isteri korban KDRT oleh suaminya disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT yang dilakukan suami korban adalah akibat perlakuannya yang salah kepada suaminya. Stigma korban terkait perlakuan (atau pelayanan) kepada suami ini telah menempatkan korban seolah seburuk pelaku kejahatan itu sendiri. Dengan demikian dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga 3.Dengan ditetapkannya Undang-Undang PKDRT, permasalahan KDRT yang sebelumnya dianggap sebagai masalah domestik diangkat ke ranah publik, sehingga perlindungan hak korban mendapat payung hukum yang jelas. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini tidak hanya meliputi suami, isteri, dan anak, melainkan juga orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dan menetap dalam rumah tangga serta orang yang membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2). Asas PKDRT sendiri seperti dijelaskan dalam Pasal 3 adalah untuk: (1) penghormatan hak asasi manusia; (2) keadilan dan kesetaraan gender; (3) nondiskriminasi; dan (4) perlindungan korban. Adapun tujuan PKDRT sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 adalah untuk: (1) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; (5) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. 3 Emilda Firdaus, Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Konstitusi, Kerjasama MKRI dengan Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 1, No. 1, 2008, h. 29.

PAGE – 6 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di IndonesiaThe Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 721 sebagai kekerasan berbasis gender. Hal ini disebabkan kekerasan terhadap perempuan seringkali diakibatkan oleh ketimpangan gender, yaitu dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. yang lebih sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih kepada korban yang lebih lemah. Kekerasan berbasis gender juga terlihat pada kasus perkosaan yang lebih sering dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan daripada sebaliknya. Kekerasan berbasis gender ini memberikan penekanan khusus pada akar permasalahan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu bahwa diantara pelaku dan korbannya terdapat relasi gender dimana dalam posisi dan perannya tersebut pelaku mengendalikan dan korban adalah orang yang dikendalikan melalui tindakan kekerasan tersebut. Inilah yang dimaksud dengan ketimpangan historis dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan 1993. Kekerasan berbasis gender ini sebenarnya tidak hanya difokuskan kepada perempuan sebagai korban, namun juga kepada pelayan laki-laki, supir laki-laki atau bawahan laki-laki lainnya. Karena dasar dari kekerasan berbasis gender ini adalah ketimpangan relasi kekuasaan, maka yang menjadi penekanan adalah kekerasan yang dilakukan kepada pihak yang tersubordinasi kedudukannya 4. Adapun penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan diantaranya: a. Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindak kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. b. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan, ketidak-berpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuanfl 5.4 Niken Savitri, Kajian Teori hukum Feminis Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan dalam KUHP, Disertasi, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan, 2008, h. 90. 5 Zaitunah Subhan, Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004, h. 14-15.

PAGE – 8 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di IndonesiaThe Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 723memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS 1950 yang sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara. Secara sosiologis, UU tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender 8. Diantara asas khusus yang menjadi dasar berlakunya UU Kewaganegaraan adalah asas non diskriminatif, yaitu berupa tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender. Asas lainnya adalah asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam segal hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya. Pengaturan yang menghilangkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin diantaranya adalah dibolehkannya seorang isteri, yang melakukan perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan, untuk memilih kewarganegaraannya sendiri. Isteri diperbolehkan memilih untuk tetap dalam kewarganegaraan Indonesia atau pindah kewarganegaraan mengikuti kewarganegaraan suaminya, sekalipun hukum negara asal suaminya, menuntut kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut (Pasal 26 ayat (1) dan (3)). Aturan dalam UU Kewarganegaraan sebelumnya (UU 62/1958) mengakibatkan seorang isteri kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila menikah dengan laki-laki WNA, karena harus mengikuti kewarganegaraan suaminya. 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) Perdagangan orang ( ) sebenarnya merupakan hal yang sudah ada sejak lama. Perdagangan orang ini sebenarnya berakar dari 8 Penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 Bagian Umum.

PAGE – 9 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 724budaya perbudakan yang dipraktekkan sejak lama. Hal itu dapat dilihat, ketika bangsa kulit putih menangkapi orang-orang kulit hitam (orang Negro) di Afrika dan menjualnya ke pengusaha-pengusaha kulit putih di Amerika. Orang kulit hitam yang dibeli tersebut, dijadikan budak oleh para pengusaha kulit putih di Amerika. Para budak ini menjadi milik pengusaha yang membelinya, dan dapat diperlakukan sekehendaknya. Sebagai budak, tentu mereka tidak mempunyai hak apa pun. Para budak ini hanya mengabdi kepada majikannya, seorang manusia tidak memiliki kebebasan hidup sebagaimana mestinya 9.Di Indonesia dapat dilihat pada waktu dijajah Belanda. Rakyat Indonesia ketika itu kedudukannya tidak sama dengan orang-orang Belanda. Pembedaan rakyat dalam golongan-golongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing ditetapkan di dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S). Pembedaan rakyat dalam golongan-golongan ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pasal 163 I.S ini menjadi dasar dari peraturan perundang- undangan, pemerintahan dan peradilan di fiHindia Belandafl dahulu. R. Supomo10 mengemukakan pembedaan ini pada pokoknya didasarkan pada jenis kebangsaan. Karena itu, terjadi firasdiskriminasifl (pembedaan-pembedaan bangsa) di dalam perundang-undangan, pemerintahan dan peradilan fiHindia Belandafl. Jumlah kasus perdagangan orang terus bertambah dari tahun ke tahun. Kedutaan Besar (Kedubes) RI di Kuala Lumpur pernah melansir jumlah pengaduan dari warga negara Indonesia (WNI) yang mengalami kasus perdagangan orang. Selama Maret 2005 hingga Juli 2006, data International Organization for Migration (IOM) menunjukkan, sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis perdagangan orang. Meskipun tidak selalu identik dengan perdagangan orang, sejumlah sektor seperti buruh migran, pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial ditengarai sebagai profesi yang paling rentan dengan 11. ayat (1) UU PTPPO adalah: fiPerdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi 9 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, 10 R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II , Jakarta:Pradnya Paramita, 1982, h. 23. 11 http://www.beritaindonesia.co.id/humaniora/kasus-perdagangan-orang-di-indonesia-tertinggi-di-dunia/ , diakses 11 September 2011.

PAGE – 10 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di IndonesiaThe Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 725rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasifl. Perdagangan orang adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena menghilangkan hak dasar yang seharusnya dimiliki setiap orang, yaitu hak atas kebebasan. Hal ini tentu saja melanggar berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional. Indonesia sendiri sebelum keluarnya UU PTPPO telah memiliki beberapa aturan yang melarang perdagangan orang. Pasal 297 KUHP misalnya, mengatur larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa. Selain itu, Pasal 83 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), juga menyebutkan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk sendiri atau dijual. Namun peraturan- peraturan tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas. Bahkan Pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (hanya 6 tahun penjara) bila melihat dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Karena itu, sudah semestinya ada sebuah peraturan khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus. UU itu harus mampu mengurai rumitnya jaringan perdagangan orang yang berlindung di balik kebijakan resmi negara. Misalnya penempatan tenaga kerja di dalam dan LN. Demikian juga pengiriman duta kebudayaan, perkawinan antarnegara, hingga pengangkatan anak. Keberadaan undang-undang ini merupakan bukti keseriusan Indonesia untuk mengurangi bahkan menghapuskan perdagangan orang ( ). 5. Undang-Undang Politik Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang terakhir telah diubah dengan Undang-Undang 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terakhir diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kedua Undang-undang ini merumuskan aturan tentang bentuk diskriminasi positif ( ) berupa kuota 30% bagi perempuan di ranah politik Indonesia.

PAGE – 11 ============
Hak Asasi Perempuan dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia The Rights of Women in Indonesian Laws and RegulationsJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 726Tindakan Khusus Sementara ( ),yang diistilahkan dengan keterwakilan perempuan. Ani Widyani Soetjipto 12 sebagai tindakan pro-aktif untuk menghilangkan perlakuan diskriminasi terhadap satu kelompok sosial yang masih terbelakang. Koalisi Perempuan Indonesia 13, mengatakan bahwa merupakan kebijakan, peraturan atau program khusus yang bertujuan untuk mempercepat persamaan posisi dan kondisi yang adil bagi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan lemah secara sosial dan politik, seperti kelompok miskin, penyandang cacat, buruh, petani, nelayan dan lain-lain, termasuk di dalamnya kelompok perempuan. Shidarta14 mengemukakan bahwa tindakan ) diartikan sebagai upaya meningkatkan hak atau kesempatan bagi orang yang semula tidak/kurang beruntung ( disadvantaged ) agar dapat mengenyam kemajuan dalam waktu tertentu. juga dapat dijadikan sebagai suatu koreksi dan kompensasi atas diskriminasi, marginalisasi dan eksploitasi yang dialami oleh kelompok-kelompok sosial yang tertinggal. Koreksi tersebut dilakukan dalam memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna tercapainya kesetaraan dan keadilan di semua bidang kehidupan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, yang kemungkinan besar sudah lama tidak pernah dinikmati oleh kelompok sosial yang tertinggal. Apabila hal ini dihubungkan dengan ketertinggalan kaum perempuan, maka dalam mengejar ketertinggalan tersebut dapat dilakukan dengan .Hal ini sesuai dengan pendapat Ani Widyani Soetjipto 15 yang mengatakan bahwa tujuan utama action terhadap perempuan, adalah untuk membuka peluang kepada perempuan agar mereka yang selama ini sebagai kelompok marjinal bisa terintegrasi dalam kehidupan secara adil. Menurutnya, ciri semua tindakan adalah sifatnya sementara. Maksudnya adalah bahwa fiketika kelompok-kelompok yang dilindungi itu telah terintegrasi dan tidak lagi terdiskriminasi, kebijakan ini bisa dicabut karena lahan persaingan dan kompetisi telah cukup adil bagi mereka untuk bersaing bebasfl. 12 Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, h. 99. 13 Koalisi Perempuan Indonesia, Tindakan Khusus Sementara : Menjamin Keterwakilan Perempuan, Pokja Advokasi Kebijakan Publik Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Oktober 2002, h. 2. 14 Shidarta, Konsep Diskriminasi Dalam Perspektif Filsafat Hukum , (Dalam fiButir-butir Pemikiran Dalam Hukum fl memperingati 70 Tahun Prof. Dr. 15 Ani Widyati Soetjipto, Op.Cit, h.105.

113 KB – 19 Pages