Syekh Abdul Qodir Al-Jailani merupakan Syekh pertama dalam tarekat Qodiriyah yang hidup pada masa Daulah Abbasiyah ke IV atau Bani Saljuk.
Nama lengkap Syekh Abdul Qodir Jailani sebagaimana tercatatat dalam kitab Tafir al-Jailani 2009, Juz I, adalah Syekh Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qodir al Jailani r.a bin Abi Shalih as Sayyid Musa bin Junki Dausit bin as Sayyid Abdullah al Jili Ibnu as Sayyid Yahya az Zahid bin as Sayyid Muhammad bin as Sayyid dawud bin as Sayyid musa bin as Sayyid Abdullah bin as Sayyid Musa al Juni.
Syekh Abdul Qodir lahir di Jaelan, sebelah selatan laut kaspia Iran, pada tahun 1077 M/470 H. Sedangkan dalam literatur lain disebutkan ia lahir di Banq yang termasuk wilayah Jailan.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kepastian tanggal lahir al-Jailani. Namun demikian, mayoritas ahli sejarah menyebut bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jailani lahir di tahun 470 H atau 471 H. sebagian yang lain menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 491 H.
Akan tetapi dari sekian pendapat itu, yang diyakini paling shahih adalah pendapat Ibn al-Jauzi, yang menyebut bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jailani lahr pada 1 Ramadhan 471 H.
Para ahli sejarah beranggapan bahwa ibn al-Jauzi adalah ulama yang semasa dengan al-Jailani. Selain disebut Syekh, Wali dan sebutan lain dalam tarekat, al-Jailani juga disebut sebagai Sayyid.
Hal itu lantaran dari pihak ibunya, ia ada keturunan Sayyidina Husain (cucu Nabi Muhammad SAW), sedangkan dari pihak ayah masih keturunan sayyidina Hasan (cucu Nabi Muhammad SAW).
Dengan begitu, Syekh Abdul Qodir al-Jailani dapat dibilang lahir ditengah-tengah keluarga yang hidup sederhana dan sholih. Diriwayatkan juga bahwa, kakek dari ibunya bernama Abdullah Saumi, yang merupakan seorang Sufi pada masa itu.
Kehidupan keluarga al-Jailani dapat dibilang tergolong miskin, sebab masa kecilnya ia habiskan dengan bekerja keras di bidang pertanian. Tanah yang mereka miliki di Jailan hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Beberapa orang di Jailan memiliki ternak dan Syekh Al-Jailani menggembalakan mereka dengan mengambil ternak untuk digembalakan dan pada saat yang sama untuk membajak sawah.
Secara aliran, mayoritas penduduk Jailan menganut aliran Hambali. Orang-orang Jailan sangat terkesan dengan citra Ahmad ibn Hambal dan para pengikutnya. Mazhab Hambali banyak dianut oleh masyarakat Bagdad, dan kebetulan memang pada waktu itu merupakan kediaman dari Ahmad bin Hambal.
Di sisi lain, Baghdad juga merupakan pusat ilmu pengetahuan dan budaya di bawah dinasti Abbasiyah yang berkuasa, jadi, Al-Jailani sangat ingin belajar di Baghdad.
Dalam dunia kajian Tasawuf, Al-Jailani adalah sosok yang familiar, bahkan bisa dikatakan sebagai kiblat bagi para pecinta kajian Tasawuf. Hal ini mungkin karena anggapan bahwa Al-Jailani adalah pendiri tarekat sufi pertama yang kemudian dikenal dengan tarekat Qodiriyah.
Setelah menimba ilmu agama, di kampung halamannya (Jaelan), pada tahun 1095 M, ia terpaksa merantau ke Bagdad, kota yang saat itu menjadi pusat peradaban dan pengetahuan Islam. Di sana, ia bermaksud untuk mencari dan memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya.
Ketika berusia 18 tahun, Al-Jailani juga memutuskan untuk pergi ke Baghdad untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang agamanya. Ada sebuah riwayat menyebutkan bahwa perjalanan Al-Jailani ke Baghdad. Sebelum pergi, ibunya, yang memiliki 80 dinar warisan dari ayahnya, ingin memberikannya sebagai aset cadangan ke Baghdad. Namun Al-Jailani hanya mengambil setengahnya, sisanya dikembalikan kepada ibunya. Uang itu kemudian disimpan dalam tas yang dijahit di bawah ketiak Al-Jailani agar tidak terlihat oleh pencuri atau perampok.
Di Bagdad, Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menjumpai para ulama, belajar dengan mereka dan berteman dengan mereka, dimana ia berhasil menguasai ilmu lahir dan batin. Ini adalah ilmu alam yang dipahami oleh para sufi. Kemudian, ia menjadi sosok yang disegani sebagai ahli Fiqih dan dihormati sebagai seorang sufi. Salah satu mentornya dalam Tasawuf adalah ad-Dabbas.
Setelah belajar dengan para ulama besar dan para sufi, ia menjelajahi gurun Sahara Irak selama 25 tahun, melintasi rumput berduri dan tanah kering bebatuan miring. Petualangan ini merupakan jawaban atas derita melihat kehancuran moral sebagian orang pada saat itu, serta kesempurnaan spiritual mereka.
Selama pengembaraan spiritualnya itu, ia berusaha menghindari pertemuan dengan manusia lain, ia hanya mengenakan pakaian sederhana berupa jubah dari bulu domba serta tutup kepala dari sesobek kain tanpa alas kaki.
Selama pengembaraannya, ia hanya makan buah segar dari rerumputan muda sungai dan sisa sayuran yang sudah dibuang, ia hanya minum secukupnya, sementara tidurnya sangat singkat sehingga ia sering terjaga.
Bahkan di usia tua, kesederhanaannya tetap terjaga. Upaya mensucikan jiwa juga termasuk merendahkan diri sepenuhnya dari segala hal yang meragukan dan bahkan mengurangi makanan dan minuman halal.
Dengan bekerja sangat keras, ia menerima perlindungan Tuhan. Suatu ketika dalam perjalanan ketika ia tidak makan atau minum selama berhari-hari, tiba-tiba seorang pria datang dan memberinya sekantong dirham. Meski uangnya cukup untuk jalan-jalan beberapa hari, namun Al-Jailani hanya membeli roti untuk mengisi perut saja.
Aktivitas hidupnya yang disibukkan dengan upaya spiritualnya, memikatnya dan hampir melupakan sunnah Rasul untuk menikah. Hingga pada tahun 521 H, di usianya yang ke-51 tahun, ia pun belum pernah memikirkan pernikahannya.
Karena menikah baginya hanya akan menjadi penghalang dalam usaha spiritualnya. Meski begitu, ia tetap tidak meninggalkan sunnah Nabi. Pada usia lanjut, ia menikah dan memiliki empat istri yang salehah.
Dari keempat istri itu, ia mempunyai empat puluh sembilan anak, dua puluh putra dan selebihnya putri. Diantara empat puluh sembilan dari putranya itu, ada empat yang termasyhur yakni;
- Syekh Abdul Wahab putra tertua, adalah seorang alim besar, penerus dan pengelola madrasah almarhum ayahnya, Ia juga seorang pemimpin sebuah kantor Negara terkenal.
- Syekh Isa, seorang guru hadist dan hakim besar, Ia dikenal juga sebagai penyair, bermukim di Mesir hingga akhir ayatnya
- Syekh Abdul Razaq, seorang aim dan ahli hadist yang mewarisi kecendrungan ayahnya yang manshur d bagdhad.
- Syekh Musa yang hijrah ke Damaskus hingga akhir hayatnya.
Selama belajar, Al-Jailani tidak diketahui secara pasti tetapi dapat diketahui melalui sedikit sejarah tentangnya, ia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam pengasingan di padang pasir atau tepi sungai, bertelanjang kaki, tidur di gubuk yang hampir runtuh, sehingga Al-Jailani cenderung dijuluki al-Majnun (orang gila).
Ada riwayat yang menceritakan bagaimana ia disebut gila, al-Jailani berkata:
“….. aku pergi ke gurun, lalu berteriak dan menutup wajahku. Orang-orang Abbar mendengarku. Mereka takut, lalu datang dan mengetahuiku. Mereka berkata, “ Abdul Qadir gila! Kau telah membuat kami ketakutan.” Lalu aku menjawab “ beban yang banyak akan segera diberikan kepadaku. Seandainya diberikan kepada gunung pasti akan hancur. Jika beban itu semakin berat, kuletakkan pinggangku ke tanah, lalu aku membaca: sesunggunya sesudah kesulitan ada kemudahan.” Lalu kuangkat kepalaku dan sesungguhnya beban itu hilang dariku”.
Sebagian penulis biografi menyatakan krisis moralitas yang terjadi di Baghdad kala itu telah mengguncang Al Jailani. Inilah yang mendorongnya menyendiri di pinggiran kota Baghdad di sebuah menara yang dikenal dengan Burj al-Gharib (menara orang asing) di daerah al-Mada‟in dan direruntuhan istana kisra selama beberapa tahun.
Guru-Guru Syekh Abdul Qodir Jailani
Setelah kepribadian dan jiwanya kuat, ia kembali ke Baghdad untuk mendalami Fikih, Hadist, Adab, Ulumul Qur‟an serta Tasawuf. Adapun guru-guru dari Syekh Abdul Qodir Al Jailani diantaranya:
1. Dalam ilmu Hadist, ia belajar kepada:
- Abu Ghalib Muhammad ibn al Hasan al-Baqilani.
- Abu Bakar Ahmad ibn Muzhaffar.
- Abu al Qasim Ali ibn Bayan al-Razaq,.
- Abu Muhammad Ja‟far ibn Ahmad al-Siraj.
- Abu Sa‟d Muhammad ibn al-Khusyaisyi.
- Abu Thalib ibn Yusuf, Abul Ghanim Muhammad bin Muhammad bin Alin bin Maimun al-Farisi.
- Abu Qasim Ali bin Ahmad bin Banan al-Karkhi
- Abu al-Barakat Hibabatullah Ibnul Mubarak
- Abdul Izz Muhammad bin Mukhtar,
- Abu Nashr Muhammad, Abu Ghalib Ahmad, Abu Abdillah Yahya, Abu al Hasan bin al-Mubarakbin Thuyur,
- Abu Manshur Abdurrahman al-Qanzaz,
- Abu al-Barakat Thalhah al-Aquli, dan lain-lain.
2. Dalam bidang Tasawuf, Al Jailani belajar kepada:
- Abu Muhammad Ja‟far ibn Ahmad al-Siraj,
- Syaikh Hammad ibn Muslim al-Dibbas
- al-Qadi Abu Sa‟d al-Mubaraq ibn Ali al-Muharrami.
3. Dalam ilmu Fiqih, ia pernah berguru kepada:
- Syaikh Abu al-Wafa Ali bin Aqil bin Muhammad bin Aqil bin Abdullah al Baghdadi al-Zari d
- Syaikh Abu al- Khatab bin Ahmad bin Hasan bin Hasan al-Iraqi al-Kalwazani.19
4. Dalam ilmu Sastra dan Bahasa, ia belajar kepada Abu Zakariya Yahya bin Ali at-Tabrizi.
Murid-murid Al Jailani
Al-Jailani dikenal sebagai sosok seorang guru besar yang masyhur, ia mengajar begitu banyak orang-orang pintar maupun awam. Setiap tahun lulusan dari madrasah dan ribat al-Jailani mencapai 3.000 orang murid dan pengikut. Dan dalam 33 tahun menjadi pengajar, ia telah melahirkan ratusan ribu orang murid alim. Diantara para ulama yang pernah menjadi muridnya adalah :
- Abdul Ghani bin Abdul Wahin al-Muqaddasi ( penyusun kitab Umdatul Ahkam fi kalami Khairil Anam).
- Al-Qadi Abu Mahasin Umar bin Ali bin Hadar al-Qurasyi, Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qadamah al- Muqaddasi ( penulis al-Mughni).
- Imam al-Qudwah al-Syaikh Abud Amru Usman bin Marzuq bin Hamid bin Salamh al-Quraisyi.
- Syaikh Abu Fath Nasr al-Muna.
- Syaikh Abu Muhammad bin Utsman al-Baqqal.
- Imam Abu Hafash Umar bin Nasr bin Ali al-Gazzal.
- Syaikh Muhammad bin al-Kizan.
Karya-karya Al-Jailani
- Al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqiqi „Azza wa Jalla
- Al-Fath ar-Rabbani wa al-Faid ar-Rahmani
- Yawakit al-Hikam
- Ar-Rasail
- Tafsir al-Jailani
- Sirr al-Asrar fi Ma Yahtaj ilayh al-Abrar
- Futuh al-Ghaib
- Jalla al-Khatir
- Asrar al-Asrar
- Ash-Shalawat wa al-Aurad
- Al-Amr al-Muhkam
- Ushul as-Saba
- Mukhtashar Ulumuddin
- Ushul ad-Din
- Al-mawahib ar-Rahmaniyya wa al-Futuh ar-Rabbaniyya fi Maratib al-Akhlaq as-Saniya wa al-Maqamat al-Irfaniyya
- Al-Fuyudat ar-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadiriyyah
- Bahjah al-Asrar
- Aurad Syaikh Abdul Qadir
- Malfuzdat
- Khamsata Asyara Maktuban
- Ad-Diwan dan lain-lain
Setiap manusia tentu akan kembali kepada-Nya, karena yang abadi hanyalah Allah, begitu juga denga Al-Jailani yang menghembuskan nafas terakhirnya pada malam sabtu, tanggal 10 Rabiul al-Tsani 561 H, bertepatan dengan 13 Februari 1166 M, pada usianya yang ke- 91 tahun. Selama hidupnya, Al-Jailani tidak pernah menderita sakit keras kecuali menjelang wafatnya.
Wafatnya Al-Jailani tentu membawa kesedihan bagi segenap umat manusia dan juga pengikutnya, namun demikian, meski jasadnya telah tiada, namun ia telah mewariskan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai kitab. Keturunan dan muridnya kemudian mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat Qodiriyah, tarekat yang kini memiliki pengikut dan pengaruh yang besar di dunia Islam termasuk Indonesia.