by FF Adonara · Cited by 50 — Ada dua pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu : berita itu dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media.
20 pages
107 KB – 20 Pages
PAGE – 1 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat KonstitusiPrinciples of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateFirman Floranta Adonara Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Kalimantan No.37, Kampus Tegalboto, Sumbersari, Jember E-mail: Floranta777@gmail.com Naskah diterima: 22/03/2015 revisi: 24/03/2015 disetujui: 07/04/2015 Abstrak Prinsip kebebasan hakim merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, sebagaimana yang dikehendaki Pasal 24 UUD 1945. Prinsip kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun. Prinsip kebebasan hakim merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Para hakim Indonesia memahami dan mengimplementasikan makna kebebasan hakim sebagai suatu kebebasan yang bertangungjawab, kebebasan dalam koridor ketertiban peraturan perundang- undangan yang berlaku dengan menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman sesuai hukum acara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa dipengaruhi oleh pemerintah, kepentingan, kelompok penekan, media cetak, media elektronik, dan individu yang berpengaruh. Kata Kunci : Kebebasan, Hakim, Prinsip
PAGE – 2 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 218Abstract The principle of judicial independence is part of the judicial power. Judicial power is independent of state power to conduct judiciary to uphold law and justice based on Pancasila and the 1945 Constitution, for the implementation of the legal state of the Republic of Indonesia, as requested Article 24 of the 1945 Constitution principle of judicial independence in carrying out his duties as a judge, it can give you the sense that judges in performing their duties of judicial power should not be bound by any and / or pressured by anyone, but free to do anything. The principle of judicial independence is an independence or freedom possessed by the judiciary for the creation of a decision that is both objective and impartial. The Indonesian judges understand and implement the meaning of judicial independence as a responsible freedom, freedom in order corridor legislation applicable to the principal duty of the judicial authorities in accordance procedural law and regulations in Keyword: Freedom, Judge, Principle I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang diperlukan adanya campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian secara obyektif, penyelesaian tersebut tentunya didasarkan kepada pedoman- pedoman yang berlaku secara obyektif. Fungsi ini lazimnya dilaksanakan oleh suatu lembaga yang disebut dengan lembaga peradilan, yang berwenang untuk Kewenangan tersebut dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh hakim. dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta-
PAGE – 3 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat KonstitusiPrinciples of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 219fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri. Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan masalah dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat membekas dalam batin para yastisinbel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya. 1 mandiri dan bebas dari segala bentuk campur tangan dari luar, sebagaimana yang dikehendaki di dalam Pasal 24 UUD 1945, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyeleggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Oleh karena itu, hakim sebagai unsur inti dalam SDM yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakiman wajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sebagaimana diatur di dalam Pasal 39 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009. Pancasila dan UUD 1945 secara tekstual disebutkan sebagai landasan dasar kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, maka kajian tentang kebebasan hakim sebagai obyek material harus dipandang dan dimaknai dari sudut pandang landasan yuridis konstitusionalnya. Jadi ketika dikaitkan dengan persepsi hakim Indonesia dalam memaknai kebebasan hakim saat menjalankan tugas pokok yang dikatakan adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kebebasan hakim adalah kebebasan dalam kontrol koridor Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal bagi bangsa Indonesia khususnya dan dunia pada 1 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim
PAGE – 4 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 220umumnya. Apabila dikaji secara mendalam, maka pengertian yang abstrak, umum, dan universal tersebut, sangat ideal dan memungkinkan untuk dijabarkan ke 2.Dengan demikian nilai- di Indonesia. fakta kejadian yang ditemukan di persidangan ke dalam putusan hakim yang mengandung nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai konstitusi dasar dalam UUD 1945, sehingga setiap putusan hakim memancarkan pertimbangan nilai berperikemanusiaan, menjaga persatuan, penuh kebajikan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Filsafat harus masuk membantu pikiran hakim menyusun pertimbangan putusannya, sehingga putusan hakim mengandung nilai- sosiologis, dan pertimbangan keadilan yuridis. Akhir-akhir ini banyak putusan, penetapan, dan tindakan hakim atau majelis hakim yang mendapatkan kritik dan reaksi negatif dari masyarakat, yang dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Mahkamah Agung sendiri berkesimpulan bahwa terjadinya kritik dan reaksi negatif tersebut disebabkan karena kurangnya atau lemahnya kontrol ketua pengadilan 3 atau lemahnya manajemen pengawasan pimpinan pengadilan 4 terhadap pelaksanaan tugas para hakim. Kelemahan kontrol tersebut adalah sebagai akibat adanya kerancuan memahami prinsip kebebasan hakim yang diidentikkan dengan kebebasan lembaga peradilan. Berkaitan dengan prinsip kebebasan hakim tersebut, sebagian hakim telah memahami kebebasan hakim yang melekat pada dirinya sebagai kebebasan absolut, sehingga dengan dalil prinsip kebebasan hakim tersebut, sebagian oknum hakim dapat melegalkan segala tindakannya dan pimpinan pengadilan tidak cukup memiliki referensi argumentasi untuk meluruskan pendirian anak buahnya yang memaknai kebebasan hakim secara keliru tersebut. 2 Soejadi, Pancasila sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia , Lukman Offset, 1999,Yogyakarta, h..88 3 Lihat SEMA No.10 Tahun 2005, tentang bimbingan dan petunjuk Pimpinan Pengadilan terhadap hakim/majelis hakim dalam menangani perkara. 4 Pasal 11 UU No. 2 Tahun 1986, menyatakan bahwa Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua; pimpinan Pengadilan Tinggi terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua.
PAGE – 5 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat KonstitusiPrinciples of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 221B. Perumusan Masalah Ada dua pokok permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu : 1. Makna dan fungsi prinsip kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya. 2. Implementasi prinsip kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya. II. PEMBAHASAN A. Makna dan Fungsi Prinsip Kebebasan Hakim Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka), maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti kekuasaan kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah ditancapkan konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun sosial telah banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata kebebasan digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk fikebebasan hakimfl, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang menafsirkan bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan yang harus didasarkan (terikat kepada dasar Pancasila.fl 5 Oleh karena itu kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh terlepas dari unsur tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan yang mutlak dan tanpa batas yang cenderung menjurus kepada kesewenang-wenangan 6.Secara akademik, mengenai kebebasan hakim dapat ditelusuri mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung yang telah beberapa kali mengalami amandemen. Misalnya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 32 ayat (5) Undang-Undang No.14 tentang Mahkamah Agung (yang tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004), kata kebebasan hakim tidak diberikan penjelasan lebih rinci dan lebih teknis oleh undang-undang tersebut, oleh karena itu dalam memaknai dan memahami prinsip asas kebebasan hakim harus berada dalam kerangka kontekstual prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Karena secara organisatoris, hakim 5 Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran tentang kuasa dan Wibawa , Jakarta : Sinar Harapan , 1991,h. 16 Kees Bertens Sejarah Filsafat Yunani ,Yogyakarta : Kanisius ,1999,h. 94
PAGE – 6 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 222adalah bagian dari subsistem lembaga peradilan, yaitu sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim harus selalu berada dalam koridor kemerdekaan lembaga kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang No.48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan 7. yang pada awalnya merupakan putusan yang bersifat individual atau majelis, namun pada saat palu hakim diketukkan sebagai tanda putusan, maka pada saat itu putusan hakim harus dipandang sebagai putusan pengadilan yang bersifat kelembagaan, karena setelah putusan hakim atau putusan majelis hakim tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka putusan yang demikian telah menjelma menjadi putusan lembaga pengadilan dan telah menjadi milik publik. Kekuasaan kehakiman diatur didalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain, Badan Kehakiman menurut undang-undang; 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang. untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata bebas memiliki konotasi makna tidak boleh terikat oleh apa pun dan tidak ada tekanan dari siapa pun. Bebas juga berarti suatu tindakan tidak boleh digantungkan kepada apa pun atau siapa pun. Bebas juga memiliki arti leluasa untuk berbuat apa pun sesuai dengan keinginan dari kebebasan itu sendiri. Apabila kata bebas disifatkan kepada hakim, sehingga menjadi kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, maka dapat memberikan pengertian bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun. Memaknai arti kebebasan semacam itu dinamakan kebebasan individual atau kebebasan ekstensial 8.7 Mahkamah Agung RI, Penemuan hukum dan Pemecahan Masalah Hukum , Proyek Pengembangan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI 8 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Jakarta: Pustaka Filsafat, 1987,h.33.
PAGE – 8 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 224Franken 12, ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa independensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam empat bentuk, yaitu : 1. Independensi Konstitusional ( );Independensi Konstitusional ( ) adalah independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politica dengan sistem pembagian kekuasaan menurut Montesquieu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti kedudukan klembagaannya harus bebas dari pengaruh politik. 2. Independensi Fungsional ( );Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya unuk menafsirkan undang-undang apabila undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan. Independensi substansial dapat juga dipandang sebagai pembatasan, dimana seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tanpa dasar hukum. Independensi substansial juga berarti bahwa dalam kondisi tertentu, hakim atau lembaga kekuasaan kehakiman dapat mencabut suatu ketentuan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan keadilan atau konstitusi. 3. Independensi Personal Hakim ( );Independensi Personal Hakim ( ) adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. 4. Independensi Praktis yang Nyata ( ).Independensi Praktis yang Nyata ( ) adalah independensi hakim untuk tidak berpihak ( imparsial). Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan dari media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita- berita itu dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkan hakim juga harus mampu menyaring desakan- 12 H. Franken, Onafhankelijkheid en Verantwoordelijke , Gouda Quhnt, 1997,h. 9-10
PAGE – 9 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat KonstitusiPrinciples of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 225desakan dalam masyarakat untuk dipertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang sudah ada. Hakim harus mengetahui sampai sejauh mana dapat menerapkan norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Oemar Seno Adji 13, independensi kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari dua sudut, yaitu : independensi atau fungsional; dan independensi atau rechtspositionele . Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian independensi kekuasaan kehakiman mempunyai 2 (dua) aspek, yaitu : 1. Dalam arti sempit independensi kekuasaan kehakiman berarti independensi institusional atau dalam arti lain disebut independensi struktural atau independensi eksternal atau independensi kolektif; 2. Dalam arti luas, independensi kekuasaan kehakiman meliputi juga independensi individual atau independensi internal atau independensi fungsional atau independensi normatif. Pengertian independensi personal dapat dilihat juga dari 2 sudut pandang yaitu: independensi personal, yaitu independensi seorang hakim terhadap pengaruh sesama hakim atau koleganya; independensi substantif, yaitu independensi hakim terhadap kekuasaan mana pun, baik ketika memutuskan suatu perkara maupun ketika menjalankan tugas dan kedudukannya sebagai hakim. Menurut Bagir Manan 14 , bahwa majelis hakim dipandang menjadi tidak netral atau berpihak karena beberapa hal, antara lain : 1. Pengaruh kekuasaan dimana majelis hakim tidak berdaya menghadapi kehendak pemegang kekuasaan yang lebih tinggi, baik dari lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, maupun dari luar (misalnya dari gubernur, bupati, menteri dan lain-lain); 2. Pengaruh publik. Tekanan publik yang berlebihan dapat menimbulkan rasa takut atau cemas kepada majelis hakim yang bersangkutan sehingga memberikan keputusan yang sesuai dengan paksaan publik yang bersangkutan. 3. Pengaruh pihak. Pengaruh pihak dapat bersumber dan hubungan primordial tertentu, maupun karena komersialisasi perkara. Perkara menjadi komoditas perniagaan, yang membayar lebih banyak akan dimenangkan. 13 Oemar Seno Adji, Op.cit, 252-25314 Bagir Manan,Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian),Jakarta: FH-UI Press, , 2004,h. 20-12
PAGE – 10 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 226Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila haruslah dipahami sebagai batas-batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang bertanggungjawab. Pancasila haruslah sebagai dasar kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan(Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009). Pancasila sebagai nilai dasar atau nilai fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal. Apabila dikaji secara mendalam, maka pengertian abstrak, umum, dan universal tersebut sebagainya 15 dalam konteks rule of law di Indonesia. Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan dipahami sebagai kesewenang-wenangan 16, sehingga orang dikatakan bebas, kalau dapat berbuat atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari perbudakan nafsu. Secara paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai kebebasan yang terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan dengan seseorang atau apa pun (termasuk nafsu) yang dapat membuat hakim tidak leluasa. Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang dipancarkan oleh nurani. Antara hukum dan moral memang berbeda 17, tetapi mempunyai kaitan yang erat antara hukum dan moral, karena sebenarnya bahwa hukum itu merupakan bagian dari tuntutan moral yang dialami manusia dalam hidupnya. Hukum 18 memuat nilai etis, yakni bahwa kriteria pembentukan hukum adalah kebebasan moral 19. Hukum ialah sejumlah syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan, disini hukum diartikan sebagai buah sikap moral manusia. Antara hukum dan moral sangat erat sekali hubungannya, sebab norma-norma yang 15 Soejadi, , Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2003. 16 Kees Bertens, ,Jakarta,:Gramedia Pustaka Utama, 2002,h. 99. 17 Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian baik dan buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari the powers of superior (Baca Brian H. Bix, Legal Postitivim dalam , Edited Martin P. Golding and William A. Edmundosn, Marden : Blackwell Publishing, 2006; James Bernard Murphy, , New Haven : Yale University Press, 2005. 18 Hukum memikul tanggung jawab (beban moral) untuk berfungsi sebagai sistem aturan yang melindungi, mengontrol, mencegah, memfasilitasi, dan memandu kehidupan manusia agar tercipta kehidupan tertib ditengah-tengah keterbatasan natural. Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Mem- , Yogyakarta: Kanisius, 2009,h.155. 19
PAGE – 11 ============
Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat KonstitusiPrinciples of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional MandateJurnal Konstitusi , Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 227berbeda-beda secara abstrak, secara konkret tidak usah muncul secara terpisah. Ilustrasi ini mengharuskan hakim untuk memeriksa, dan memutus perkara yang ditanganinya sesuai denganprinsip-prinsip moral, dan karenanya dalam memutus perkara berlandaskan moral yang baik dan sehat. Apabila dalam menyelesaikan sengketa dan memutus perkara hakim mengabaikan moral, pasti akan menghasilkan suatu putusan yang adil tetapi semu atau menghasilkan suatu keadilan yang semu. Norma moral bagi hakim dalam menjalankan tugasnya diatur di dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor.047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur perilaku hakim sebagai berikut: berperilaku adil, berperilaku jujur, berlaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap profesional. Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, karena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga dihadapan masyarakat 20 , hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun hal ini harus dilakukan demi kewibawaan negara dan peradilan, karena hak-hak dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan 21.Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa memperhatikan keadilan, dan adil itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan tata hukum 22 dan peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip-prinsip tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu merupakan keyakinan yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil, karena tujuan negara dan hukum adalah mencapai kebahagiaan yang paling 20 Pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putati yang telah ada (hukum positif) dapat diabaikan atas nama hak moral. Lihat Lon. L.Fuller, ,Yale University Press, New Haven, 1964,h.96-97 21 Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum , Bandung : Mandar Maju, 2007,h. 12522 Ketersediaan aturan yang jelas-tegas dan predictable, merupakan keharusan (moral) yang terkait dengan kepastian hukum secara formal. Bernard A. Sidharta, , Jentera (Jurnal Hukum), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), edisi 3 Tahun II, November, Jakarta, 2004,h.124-125
107 KB – 20 Pages