penelitiannya menunjukkan bahwa pro- sesi dalam tradisi upacara kematian adat. Jawa ada beberapa rangkaian yang harus dilakukan dari mulai perawatan jenazah,.
10 pages

131 KB – 10 Pages

PAGE – 1 ============
71 | ETNOREFLIKA : Jurnal Sosial dan Budaya Volume 9, Nomor 1 , Februari 2020 : 71 – 80 https://doi.org/10.33772/etnoreflika.v9i1.723 ISSN: 2252 – 9144 (Cetak) ISSN: 2355 – 360X (Online) PRO SES RITUS KEMATIAN PADA MASYARAKAT ETNIK MUNA DI KOTA KENDARI THE DEATH OF RITUS PROCESS IN MUNA ETHNIC COMMUNITIES IN KENDARI CITY Iko Sutriani 1 , La Ode Sidu Marafad 2 , dan La Aso 3 1 Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A. Mok odompit, Kampus Hijau Tridharma Kendari , Indonesia 2 Jurusan Pendidikan Bahasa dan S astra Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo 3 Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo 3 Email Korespon den : la_as o@yahoo.co.id ABSTRAK Tu juan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses ritus kematian pada masyarakat etnik Muna. Penelitian ini bersifat kualitatif, dimana Peneliti menggambarkan secara detail proses ritus kematian pada masyarakat et nik Muna. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan, wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses ritus kematian pada masyarakat etnik Muna terdiri atas tujuh ritus yaitu (1) ritus kaalingkita (m ema ndi kan m aya secara biasa), (2) ritus kaselino wite (penggalian tanah kuburan), (3) ritus kakadiu wadhibu ( me mandi kan mayat secara wajib), (4) ritus kabasano haroa turuntana (pembacaan doa untuk bekal mayat), (5) ritus kakoburu (penguburan), (6) ritus kansolo – nsolo (kunjunga n ke kuburan), dan (7) ritus poalo (memperingati malam – malam tertentu sesudah penguburan ) . Kata kunci : ritus kematian, masyarakat etnik Muna ABSTRACT The aim of this study was to describe the process of death rite in Muna ethnic people . This s tudy emplo yed a qualitative method, in which the researcher provided a detailed description of the process of death rite in Muna ethnic people . The Data were collected by using observation, in – depth interview and documentation study. The Result of the stud y showed t hat the process of death rite in Muna ethnic people consist of sevenrites, namely (1) kaalingkita rite (bathing the corpse naturally) , (2) kaselino wite rite (digging the hole for the corpse) , (3) kakadiu wadhiburite (bathing the corpse c ompulsor ily , (4) k abasano haroa turuntana rite (prayer for the corpse) , (5) kakoburu rite (funeral) , (6) kansolo – nsolorite (visiting the corpse at the grave at certain times ) , and (7) poalorite (cellebration of certain nights after the burrial). Keywords: death ri te, muna e thnic people

PAGE – 2 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 72 | PENDAHULUAN Kematian merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan bagi semua mahluk yang bernyawa. Hal tersebut – Anbiya – tiap yang berjiwa akan merasakan mat i, Kami akan meng uji kamu d engan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar – benarnya). Dan hanya kep ada Kamilah pada etnik Muna banyak mengandung pesan moral dan religious . Hal demikian menjadi penting, menginga t perlakuan – perla kuan dalam ritual tersebut hanya dikuasai oleh para orang tua yang semakin ren ta dan tokoh – tokoh adat yang semakin sedikit jumlahnya. Apalagi diperparah oleh semakin berkurangnya minat masyarakat terhadap pengetahuan tentang budaya daerah termasuk di dalam nya ilmu y ang mempelajari per – lakuan – perlakuan dalam ritual kematian. O leh karena itu, perlakuan – perlakuan yang terkandung dalam ritual kematian perlu ditelusuri dan dikaji, didokumen – tasikan dalam bentuk karya tulis untuk kemudian disebar luaskan agar kele sta – rianny a terjaga dan terpelihara sepanjang zaman. Dengan alasan inilah sehingga peneliti tertarik untuk mengangkat judul proses ritus kematian pada Etnik Muna di Kota Kendari tepatnya di kelurahan Anggoya . Berkaitan dengan ritual kemati an pada etnik Mun a, ada beb erapa hasil pe – nelitian yang sudah pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, antara lain: La Aso (2015) menulis dalam d iser – pada Etnik Muna di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara : Keber – lanjut an dan Peruba d isertasinya, Ia mengelompokkan ritus peralihan pada etnik Muna menjadi enam bentuk yaitu, (1) ritus kasambu , (2) ritus kampua , (3) ritus kangkilo/katoba, (4) ritus karia, (5) ritus kagaa , dan (6) ritus mate . Sa limu (2017) dalam t esisnya Ratibu dalam Upacara Kematian p ada Masyarakat Etnik Muna menunjukkan bahwa p rosesi pelaksanaan ritual ratibu dalam masyarakat suku Muna dilaksanaka n dalam tiga tahapan, yai tu (1) kafongkora no ratibu ( pem – bukaan pelaksanaan ratibu ), (2) poratibu (pelaksanaan ratibu ) , dan (3) kasongkono ratibu (penutupan ratibu ) . Diysi (2017) dalam tesisnya Poseriwu dalam Upacara Kematian pada Masyarakat Etn ene – litian nya menun jukkan bahwa (1) p rosesi pelaksanaan p oseriwu terdiri dari dua tahapan yaitu tahapan kabubusino koburu (penyiraman kuburan) dan pelaksanaan pembacaan doa haroa turuntana yang dilaksanakan di rumah keluarga orang yang di p oseriwu kan, (2) m akna simbo lik dalam pelaksanaan poseriwu , khususnya isi haroa turuntana berupa makanan tra – disional masyarakat etnik Muna dan me – rupakan kelengkapan yang wajib disedia – kan dalam acara poseriwu dalam tradisi masyarakat etnik Muna. Makna ben da – benda simbolik tersebut merupakan sim – bol anggota tubuh manusia sehingga disusun seperti urutan bentuk tubuh manusia . Esra (2015) dalam t e sisnya dalam Upacara Ritual Pesta Kematian pada masyarakat Toraj pen elitiannya, I a me mbagi fung si badong menjadi empat bagian yaitu badong (badong nasihat), badong umbating (badong ratapan), badong (badong berarak), dan badong pasakke (badong selamat atau berkat) . Damayanti (2019) dalam skripsi – nya ber Br obosan Dal am Upacara Kematian Masyarakat Jawa di Kelurahan Rajabasa Raya Kecamatan

PAGE – 3 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 73 | penelitiannya menunjuk kan bahwa p ro – sesi dalam tradisi upacara kematian adat Jawa ada beberapa rangkaian yang harus dila kukan dari mulai perawatan jenazah, perlengkapan yang digunakan dalam upacara kematian adat Jawa, prosesi sebelum pemberangkatan jenazah ke pe – makaman dan prosesi setelah penguburan jenazah. Prosesi b robosan dilakukan oleh anak cucunya orang telah meningga l, dimulai dari a nak tertua sampai dengan cucu – cucunya dengan cara merunduk di bawah keranda jenazah dan mengeli – linginya sebanyak 3 kali atau 7 kali se – arah jarum jam. Makna eksplisit (ter – surat) dari t radisi b robosan sebagai peng – hormatan terakhir dari k eluarga yang masi h hidup ke pada jenazah yang dilaku – kan sebelum pemberangkat an jenazah ke pemakaman. Makna implisit (t ersirat) dari tradisi brobosan bahwa semua kebaikan yang ada di dalam diri jenazah semasa hidup akan menurun ke anak cucunya kelak jika me lakukan tradisi B robosan te rsebut, dari mulai kepan – daiannya, kejayaannya dan segala hal baik yang dilakukan jenazah semasa hi – dupnya . Berdasarkan uraian dari beberapa hasil penelitian yang relevan diatas, pe – nulis berpendapat bahwa terdapat persa – maan dan perbedaan dengan penelitia n ini. Persamaannya adalah sama – sama me – neliti tentang kematian, sedangkan perbedaannya adalah La Aso meneliti tentang ritus peralihan pada masyarakat Etnik Muna yaitu mengelompokkan ritus peralihan. La salimu meneliti tentang Pr osesi pelaksanaan ritual ra tibu dalam masyarakat suku Muna dan makna sim – bolik dalam pelaksanaan ritual ratibu pada masyarakat suku Muna, khususnya isi haroa turuntana pada saat k alengkano ratibu , dan k asongkono ratibu. Sedang – kan La Diysi meneliti tentang prosesi pelaksan aan poseri wu dan makna sim – bolik dalam pelaksanaan poseriwu , khu – susnya isi haroa turuntana berupa maka – nan tradisional masyarakat Etnik Muna dan merupakan kelengkapan yang wajib disediakan dalam acara poseriwu dalam tradisi masyarakat e tn ik Muna. Esra me – neliti ten tang fungsi mabadong , makna dan pesan – pesan dalam tarian to , Tia Damayanti meneliti tentang tradisi brobosan serta makna eksplisit (tersurat ) dan makna implisit (tersirat) tradisi brobosan pada upacara kematian masyarak at Jawa di K elura han Rajaba sa Raya Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung sedangkan penelitian ini membah as tentang proses ritus ke – matian pada etnik Muna mulai dari awal meninggal sampai pelaksanaan seratus hari. Berdasarkan uraian di atas maka tujuan dil aksanakan penelit ian ini ad alah untuk memberikan gambaran tentang proses ritus kematian pada masyarakat etnik Muna di Kota Kendari mulai dari awal meninggalnya seseorang sampai dengan acara keseratus hari setelah penguburan. METODE PENELITIAN Penelitian i ni merupakan pene – litian ku alitatif yang menjelaskan bahwa temuan – temuan dalam penelitian kuali – tatif tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Adapun lokasi penelitian bertempat di Kota Kendari K elurahan Anggoya. Jenis data yang digunakan da lam peneli tian in i adalah jenis data kualitatif berupa narasi, uraian, dan butir – butir yang berkaitan den gan masalah penelitian. Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan hasi l wawancara menda lam de ngan informan di lapangan. Sedangkan data sek under diperoleh dari buku – buku, naskah, hasil penelitian sebelumnya, dan dokumen lain yang berkaitan dengan proses ritus kematian .

PAGE – 4 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 74 | Instrumen penelitian ber upa pedo – man wawancara yang dilen g kapi dengan alat tulis dan alat rekaman yang digu – nakan ketika melakukan wawancara men – dalam dengan informan. Selain pedoman wawancara, juga digunakan audio visual berupa kamera video/ handy cam . Infor – man dalam penelitian ini ditentukan seca – ra purposive artinya memilih i nforman be rdasarkan tujuan tertentu yaitu berda – sarkan pengetahuan yang dimiliki oleh informan terhadap masalah ritus kema – tian yang terdiri dari Imam, Lebe , Modji , Khatibi dan Pomantoto yang mengerti seluk beluk masalah ritus kematian. Te knik pengumpulan data dilak ukan dengan cara pengamatan, wawancara mendalam dan studi dokumen. Selanjut – nya, analisis data penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif. Dalam ana – lisis data kualitatif, pada dasarnya data dideskripsikan berwujud kat a – kata atau kalim at. Prosed ur analisis data dilakukan melalui tiga alur k egiatan, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penafsiran data dan penarikan sim pulan (Miles & Huberman, 1992) . HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Ritus Kematian p ada Masya – r akat Etnik Muna Proses rit us kematian pada ma – syarakat etnik Muna terdiri atas 7 tritus, yaitu: (1) ritus kaalingkita (memandikan mayat secara biasa), (2) ritus kaselino wite (penggalian tanah kuburan), (3) ritus kakadiu wadhibu ( me mandi kan mayat secara w ajib), (4) ritus kabasano h aroa turuntana (pembacaan doa untuk bekal mayat), (5) ritus kakoburu (penguburan), (6) ritus kansolo – nsolo (kunjungan ke kuburan), dan (7) ritus poalo (mempe – ringati malam – malam tertentu sesudah penguburan ) . Ritus Kaalingkita (memandikan mayat secara bi asa) Ritus kaalingkita (mandi biasa) adalah memandikan mayat untuk meng – hilangkan daki dan kotoran pada mayat, baik kotoran yang ada di dalam tubuh maupun di luar tubuh mayat setelah bebe – rapa saat meninggal dunia. Dalam proses kaalingkita , maya t dimandik an oleh em – pat orang, yaitu tiga orang dari anggota keluarganya dan satu orang lebe . Keem – pat orang yang memandikan mayat terse – but memiliki tugas yang berbeda, yaitu satu orang mempersiapkan air ( tiri – sangino oe ), satu orang mem bersihkan najis/k otoran yan g ada di dubur mayat ( fokabusano ), satu orang membersihkan seluruh anggota tubuh mayat ( fotangono ), dan satu orang lebe bertugas memegang termos sekaligus menuntun dalam me – mandikan mayat . Proses kaalingkita yaitu: Pertama , maya t diangkat dari t empat pemb a – ringannya dibawa ke tempat permandian. Kedua , air yang dipakai untuk meman – dikan mayat ditaruh di dalamtermos. Ke – tiga , menyaring air lalu diserahkan kepa – da lebe . Keempat , orang yang bertugas sebagai fokabusano mulai membersih kan bagian kewani taan mayat sampai bersih. Fokabusano menekan perut mayat sam – pai kotoran yang berada di dalam perut mayat keluar. Setelah bersih betul bagian dubur lalu air diteruskan kekaki kanan dan kiri sambil dibersihkan kotoran yang ada pada kaki may at. Setelah kedua kaki bers ih, air diteruskan ke bagian mulut sambil dikumur – kumurkan. Selanjutnya air ditumpahkan didahi, kemudian dite – ruskan ke bagian kaki. Kelima , mayat dimandikan seperti biasa dengan meng – gunakan sabun mandi dan sampo u ntuk membersih kan seluruh tubuh (h asil pe ngamatan peneliti di Kelurahan Ang – goya, 7 November 2018) . Setelah dimandikan dengan bersih (di – alingkita ), dibentangkan sepotong sa – rung baru di atas dada mayat, lalu

PAGE – 5 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 75 | dibentangkan lagi dua potong, empat po – tong, atau enam poton g sarung baru yan g dilipat dua untuk mayat laki – laki, dan dibentangkan tiga potong, lima potong, atau tujuh potong sarung untuk mayat pe – rempuan (mayat laki – laki berjumlah ge – nap, sedangkan mayat perempuan ber – jumlah ganjil). Sarung – sarung yang terlipat du a tersebut disusu n mulai da ri dagu sampai jari kaki mayat. Setelah itu mayat diangkat ke tempat pembaringan dengan posisi arah kepala pada sebelah Barat (kiblat) yang sudah disiapkan untuk menunggu keluarga atau pengunjung jenazah yang datang melayat . Rit us Kaselino Wite (Penggalia n Tanah Kuburan ) Sebelum dilaksanakan ritus kase – lino wite (penggalian tanah kuburan), tinggi mayat diukur menggunakan pele – pah tulang daun pisang. Mayat diukur oleh seorang lebe . Setelah diukur, lebe memerintahkan beberapa oran g untuk pergi men ggali tana h kuburan dengan membawa pelepah tulang daun pisang yang telah diukur. Pelepah tulang daun pisang tersebut digunakan untuk meng – ukur panjang tanah kuburan yang digali. Beberapa orang yang ditugasi pergi menggali tanah kuburan dan ditemani seorang lebe yang lain untuk menentukan dan memulai penggalian tanah kuburan . Setelah tiba di kuburan, lebe melangkahkan kaki kanan menginjak pintu kuburan sambil mengucapkan (ke – selamatan atas kamu sekalian para ahli kubur). Sete lah itu Ia duduk di tempat membuat lubang kuburan. Selanjutnya Ia meletakkan ukuran mayat menurut arah kiblat, yaitu menurut fitrah orang me – ninggal. Setelah itu ia mengambil tem – bilang atau kasinala untuk memulai menetak tanah kuburan ( ti da wite ) dengan c ara: (1) u jung ibu jari kedua kaki dirapatkan, membaca doa dalam hati sambil memegang tanah yang akan ditetak, lalu tangan kanan memegang alat p enggali, lalu berdoa dalam hati; (2) tanah dite takkan sambil berdoa dalam hati; (3) lebe menyed uk tanah tiga sed uk pada ba gian tengah dan dibuang di bagian kanan kuburan. Selanjutnya tiga seduk dibagian kepala dibuang sebelah kanan kuburan dan tiga seduk pada ba gian kaki, yang masing – masing di buang di sebelah kanan kuburan. Setelah lebe menetak tan ah kuburan ( tida wite ), tan ah yang telah di – tetak yang dibuang tadi dikumpul dipi – ring putih dan apabila setelah selesai penguburan tanah dipiring putih itu dipakai untuk tempat bakar dupa dan disimpan di atas kuburan . Ritus Kakadiu Wadhibu ( Mem andi kan M a yat secara Wajib) Menurut i nforman imam Hali – muddin kurang lebih ada delapan orang atau lebih yang memandikan mayat pada saat kakadiu wadhibu (mandi wajib) dan memiliki tugas yang berbeda – beda. Pem – bagian tugas mereka yaitu : (1) 1 (satu) orang yang di pimpi n oleh pegawai s a ra yang di namakan mowano oe/foka – diuno/lebe yang bertugas m enyiramkan air ketubuh mayat dan menuntun meman – dikan mayat sambil memegang sebuah termos yang beris i air suci yang sudah disaring; (2) f okabusano yaitu orang yang meratakan siraman air ketubuh jena zah dibagi an dubur; (3) f odidino yaitu orang y ang mengelap jenazah setelah di man – dikan dan mengukir wajah ; (4) 3 (tiga) orang lainnya yaitu dinamakan f otangono yang bertugas me – mangku kaki , per ut dan kepala mayat; (5) yang lainnya yaitu 2 o rang yang menyari ng air dan 1 orang yang membawa termos kepada lebe . Kemudian lebe membacakan doa oe metaano (air bersih yang ada di dalam termos dengan salawat dan doa pembawa berkah . Setelah air didoakan dalam termos tersebut, lebe menyiram bagian dubur mayat, sambil dib ersihkan o leh fokabusano . Setelah bersih dilanjutkan

PAGE – 6 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 76 | istinja dengan perlakuan lima jari ( oe didimano ) yang artinya air yang mem – bersihkan tubuh kita yaitu dengan me – letakkan ibu jari di pusat diputar se – banyak 3x kekanan dan 3 x kekiri yait u dengan membaca air maulha yati sekali saja. Jari telunjuk di – sungkala (antara paha dan kewanitaan) 3x naik turun dengan membaca air jintabila . Jari tengah dikelamin sebanyak 3x putar kanan dan 3x putar kiri dengan membaca air san – tabila , selanju tnya jari manis dilubang du bur 3x kek anan dan 3x ke kiri dengan membaca air sarabantahura , dan yang ter akhir adalah jari kelingking di tulang ekor /tulang sulbi ( pui ) diputar sebanyak 3x kanan dan 3x kekiri dengan membaca air kalkausar . Bacaan setiap perlakuan jari cu kup sekali diucap kan dan pu tarannya sebanyak 3 x. Setelah bersih, fokabusano mem – bersihkan kaki kanan dan kiri lalu na ik kesalah seorang fotangono yang mencuci tangan, mulut, hidung, mata, dahi, dan lehernya masing – masing sebanyak 3x lalu dikasih syahadat wuto (syahadat s endiri) la lu turun kembali kembali ke foka – busano membersihkan kaki kanan dan kirinya lagi sebanyak 3 kali , lalu naik lagi ke fotangono mencuci lengan sampai ke jari jari tangan jenazah . M ulai dari yan g kanan 3x dan yang kiri 3x lalu le pas didada mayat tan gan jenaza h. T angan kanan d i atas tangan kiri, lalu fotangono membersihkan mulut, hidung, mata, dahi sampai dagu dan leher masin g masing sebanyak 3x. Setelah itu, telunjuk mayat lalu di lekatkan didahinya meski tidak sampai , lalu di ucapkan sy ahadat s embah – y ang . Setel ah selesai diwudhukan, lebe menyuruh salah seorang untuk meng – ambil air 1 (satu) termos untuk kangkulu yang dilakukan oleh lebe . Selanjutnya dim ulailah proses ngkulu pada rambut mayat . Di – ngkulu adalah di peraskan kelapa yang dita ruh dipiring lalu fodidino yang taruh dirambut mayat. S etelah mayat di – ngkulu , lebe membaca Alfatiha lalu menuang air sebanyak 36x untuk membersihkan rambut mayat dari perasan kelapa dengan model gergaj i lalu dibiar – kan airnya turun. Setelah mayat di – ngkul u selanjutnya dil akukan pro ses fodidino atau mengukir wajah mayat . Setelah fodidi , maka kemudian lebe melakukan owala/kawalasi /oe tolu – fulu noono yakni air yang ke 36, lebe menyiram air ke tubuh mayat dari bahu sampai ke kaki sebanyak 12 kali di sebelah k anan, 12 kali di kaki sebel ah kiri, dan 12 kali di tengah badan mayat . Jadi semuanya berjumlah 36 kali. Setelah kawalasi dikerjakan lalu dilakukan penyi – raman seperti gergaji mulai ubun – ubun kepala turun ke badan sampai ke kaki . Doa yang dibaca untuk air g ergaji yaitu sura t Al – Fatih ah , surat A l ikhlas , surat Al falaq , surat An nas , dan surat Al qautsar . Proses ini tidak ada hitungan, kalau m asih ada airnya tumpah dikaki mayat sampai habis . Sebelum mayat diangkat , kain kafan sudah dipersiapkan yakni lima lem – bar kain potonga n untuk ma yat perem – puan dan dibentangkan dengan cara disusun . Kain yang paling lebar dan panj ang diletakkan paling bawah. K emudian lembar kain penutup kepala (kerudung) dan lembar baju kurung disiapkan pada tempatnya dan diber i lobang seb esar ukuran leher jenazah d an sebelah bagian depan kain tersebut dirobe k (dipotong sedikit memanjang. Selain itu siapkan pula lembar kain basahan untuk penutup pinggul sampai paha dan lembar kain untuk penutup pinggang sampai kaki. Sediakan kain untuk tal i pengikat sebany ak tiga ta li dan letakkan dibawah kain kafan yang paling bawah yang telah dibentangkan. Lalu sediakan kapas secukupnya yang diberi wangi – wangian untuk menutupi anggota badan mayat seperti wajah, kemaluan, kedua buah

PAGE – 8 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 78 | yang terletak di sebelah kiri galian yang disebut (tanah amis) di – ambil lalu dihamburkan di atas bum – bungan kuburan. Setelah mayat dikuburkan, kemu – dian leb e melafalkan doa di atas air dalam sebuah termos untuk kabubusi (penyiraman kuburan). Doa yang dibaca oleh lebe diambil dari kitab suci Alquran, yai tu surat Al – Fatih ah satu ka li dan surat Al – Ikhlas tiga kali. Selanjutnya lebe melakukan kabubusi (penyiraman kubur – an) di atas tanah timbunan kuburan . PAda bagian akhir pemakaman, para lebe melaksanakan ratibu ne koburu (ratib di kuburan). Ritus Kansolo – n solo ( Mengujungi Ku – buran M ayat pada Saat – Saat Tertentu ) Proses kansolo – nsolo dilakuk an pada pagi hari dan sore hari, yakni keeseokan hari setelah upacara penguburan. Kegiatan ini dilaksanakan hingga hari ketujuh. Ritus kansolo – nsolo diawali oleh lebe yan g didampingi oleh salah seo rang laki – laki keluarga yang berduka pergi ke kuburan . Mereka membawa membawa termos berisi air bersih, sabut kelapa kering, korek api, dupa /kemenyan , dan kumpulan surat dan doa – doa dari kitab suci Alquran. Setelah tiba di kubura n, lebe melafalka n doa pada air dalam termos, yaitu dibacakan surat Al – Fatihah tiga kali dan surat Al – Ikhlas satu kali. Setelah itu lebe menyiram bumbungan timbunan kuburan mayat mulai dari arah pusat menuju ke kepala kemudian kepusat dan terakhir dikaki. Setelah itu lebe mem – bakar sabut kelapa kemudian dibakarkan dupa /kemenyan di atas sabut kelapa lalu ditaruh di atas kuburan mayat. Kemudian Ia membaca surat Yasin satu kali dilanjutkan dengan membaca t ahlil mayat, yaitu mengucapkan kalimat Ilaaha Illa tiga ratus kali (Tid ak ada Tuhan, kecuali Allah), dan mengucapkan kata (Allah) seratus kali. Setelah itu Ia dan keluarga yang berduka menemaninya pulang ke – rumah duka. Dirumah duka sudah diper – siapkan haroa turuntana (dulang) untuk dibaca. R itus Poalo (Memp eringati M alam – M alam T ertentu setelah Penguburan ) Dalam tradisi etnik Muna, ada be – berapa malam yang wajib diperingati, yaitu malam ke – 2 (ritus pataino itolu ), malam ke – 3 (ritus poitolu ), malam ke – 6 (ritus pataino ifitu ), malam ke – 40 (ritu s pofato fulugha ) , dan mala m ke – 100 (ritus pomoghono ). Menurut kepercayaan orang Muna, ketika seseorang meninggal maka arwahnya masih berada disekitar ling – kungan keluarganya, bahkan ia masih bolak – balik dari rumahnya ke kuburannya sejak meninggal sampai m alam ke 100. Kegi atan mempe ringati malam – malam tertentu bertujuan untuk mengenang jasad mayat dan memberikan perhatian kepada roh mayat yang telah meninggal. Di samping itu, juga diperkuat oleh pendapat Van Gennep bahwa ritus pemisahan sangat menyolok dala m upacara kematia n dalam ha l ini upacara kematian ber – dasarkan tema berpikir bahwa peristiwa kematian manusia hanya merupakan suatu saat proses peralihan ke suatu kehidupan yang baru di alam baka atau juga berdasarkan tema berpikir bahwa individu yang mati harus diintegras ikan ke da lam kehidupannya yang baru diantara makhluk halus yang lain di alam baka (Koentjaraningrat, 1085: 33 – 34) . T eor i yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ritus yang dikemukakan oleh Smith (d alam Koentjaraningrat, 2007 ), se bagai salah satu simbol da ri suatu kenyataan di – dasar kan atas peraturan yang sewenang – wenang atau simbol dari suatu masya – rakat yang sangat penting yang meru – pakan realitas rohani kepada nilai – nilai tertinggi dari satu komunitas atau ma – Selanju tnya, Smith juga menggunaka n pendekatan terhadap

PAGE – 9 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 79 | ana teori ini didasarkan pada si stem keyakinan atau doktrin religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Lebih jauh, ada tiga gagasan mengenai asas – asas agama yang dikemu – kakan nya , yaitu: Pertama , disampin g sistem k eyakinan dan doktrin, si stem upacara merupakan suatu perwujudan dari agama yang memerlukan studi atau analisa yang khusus. Menurutnya, yang menarik dari aspek ini adalah bahwa sekalipun latar belakang, keyakinan atau doktrinnya b erubah, namun ham pir semua agama upacaranya itu tetap. Kedua , bahwa upacara religi atau agama mempunyai fungsi sos ial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Mereka melakukan upacara agama tidak semata – mata untuk menjalankan kewajib – an agama atau ber bakti kepada dewa atau tuha nnya, tetapi mereka melakukannya sebagai kewajiban social. Ketiga , bahwa fungsi upacara bersaji dimana manusia menyajikan sebagiannya lagi untuk dima – kannya sendiri merupakan suatu aktifitas untuk mendorong rasa solidaritas terha – dap dewa. KESIM PULAN Ber dasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa proses ritus kematian pada etnik Muna terdiri atas tujuh tahap yaitu (1) ritus kaalingkita (mandi biasa), (2) ritus kaselino wite (penggalian tanah kuburan), (3) ritus kak adiu wadhibu (man di wajib), (4) ritus kabasano haroa turuntana (pembacaan doa untuk bekal mayat), (5) ritus kako – buru (penguburan), (6) ritus kansolo – nsolo (kunjungan ke kuburan), dan (7) ritus poalo (peringatan malam – malam tertentu setelah penguburan ) . D AFTAR PUSTAKA Da mayanti, T . (2019). Tradisi Brobosan Dalam Upacara Kematian Masyara – kat Jawa di Kelurahan Rajabasa Raya Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung . [Skripsi]. Bandar Lampung: Program Studi Pendi – dikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengeta – huan Sosial U niversitas Lampun g. Danim, S . ( 2002 ) . Menjadi Peneliti Kua – litatif. Bandung: Pustaka Setia. Esra. ( 2015 ) . a – lam Upacara Ritual Pesta Kematian Pada Masyarakat Toraja. [Tesis]. Kendari: Program Studi Kajian Bu – daya Pascasarjana Universi tas Halu O leo. Ho ed, B. H. ( 2011 ) . Semiotic dan Dina – mika Sosial Budaya. Jakarta: Komu – nitas Bambu. Karoluslina, ( 2013 ) . Tuturan Dalam Ritual Kasampu Di Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara. [Tesis] Kendari: Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Univ er – sitas Haluoleo . Koentjar aningrat. (2007). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat. ( 1985 ) . Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. La Aso. ( 2015 ) . Ritus Peralihan pada Etnik Muna di Kabupaten Muna, Provins i Sulawesi Tengga ra : Keber – lanjutan dan Perubahan. [ Disertasi tidak dipublikasikan] . Denpasar: Universitas Udayana. Denpasar. Diysi, L. ( 2017 ) . Makna Prosesi Pelak – sanaan Poseriwu Dalam Upacara Kematian Pada Masyarakat Etnik Muna. [Tesis] Kendari: Program Studi Kajian Buda ya Pascasa rjana Universitas Haluoleo. Salimu, L. ( 2017 ) . Ritual Ratibu Dalam Upacara Kematian Pada Masya – rakat Etnik Muna di Kabupaten Muna. [Tesis] Kendari: Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Haluoleo. Lampasa, Y . ( 2010 ) . Makna Ungkapan dalam Alan o Oe pada Masyarakat Muna. [Tesis]. Kendari: Program

PAGE – 10 ============
Iko S utriani , La Ode Sidu M arafad , dan La A so : P roses Ritus Kematian pada Masyarakat Etnik Muna di Kota Kendari 80 | Studi Kajian Budaya Pa scasarjana Universitas Haluoleo. Magasi, Jumaddin Rajab. 2013. Ritual Kafolantono Bhangka Pada Masya – rakat Etnik Muna di Kelurahan Labuan Kecamatan Wakoru mba Utara Kabupat en Buton U tara. Kendari: Tesis Program Studi Ka – jian Budaya Pascasarjana Univer – sitas Haluoleo. Makmur, J . ( 2017 ) . Fungsi dan Nilai Tradisi Pogiraha Adhara pada Masyarakat Etnik Muna. [Tesis]. Kendari: Program Studi Kajian Budaya Pascasarj ana Universitas H alu O leo. Miles, M. B. Huberman, A. M . ( 1992 ) . Analisis Data Kualitatif. Terjemah – an: Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Mujianto, Y. Z. E ., & Suhnarowi. ( 2010 ) . Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Pujiastuti, T. & Tommy, C. ( 2 011 ) . Teks , Naskah, dan Kelisanan Nusantara: Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram. Depok: Yayasan Pernaskah – an Nusantara. Ratna, N . K . ( 2010 ) . Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Humaniora Pada Umumnya. Yog – yakarta: Pustaka Bel ajar. Smith, R. ( 1989 ) . L ectures on Religion of the Semites. Sheffield Academic Press. Ltd. Sobur, A . ( 2004 ) . Semiotika K omunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sobur, A . ( 2006 ) . Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tarimana, A .( 1993 ) . K ebudayaan Tolaki. Balai Pus t aka: Jakarta. Wuisman, J. J.J.M. ( 2013 ) . Teori & Praktik: Memperoleh Kenyataan supaya Memperoleh Masa Depan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Ja – karta .

131 KB – 10 Pages