by R Kustiari · Cited by 4 — Harga. BBM berpengaruh terbesar terhadap pembentukan harga cabai merah di tingkat konsumen. Secara spasial, Medan adalah pasar acuan (price leader) untuk

166 KB – 15 Pages

PAGE – 1 ============
Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No.1, Mei 2018: 39-53 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/jae.v36n1.2018. 39-53 39 INTEGRASI PASAR DAN PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH DI INDONESIA Market Integration and Price Formation of Chili in Indonesia Reni Kustiari 1* , Wahyuning K. Sejati 1, Riva Yulmahera 2 1Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jln. Tentara Pelajar No.3B, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia 2Dinas Pertanian, Hortikultura dan Peternakan Kabupaten Agam Jl. Sudirman, Padang Baru Lubuk Basung, Agam 26452, Sumatera Barat, Indonesia *Korespondensi penulis. E-mail: kustiarireni@yahoo.com Diterima: 20 Agustus 2018 Direvisi: 30 Agustus 2018 Disetujui terbit: 30 Okto ber 2018 ABSTRACT Red chili is considered as one of the strategic commodities in Indonesia primary due to its high price volatility and often causes high inflation. This paper is intended to discuss market integration, determine the reference market and price formation of red chili by using monthly price data for the period of January 2011 May 2017. Red Chili market integration was analyzed by Johansen’s cointegration approach utilizing the Vector Error Correct ion Model (VECM). Results show that there are long run integration between prices at farmer, wholesaler, and consumer levels. The vertic al integration is, however, not strong. The producer and wholesale prices affect consumer pric es, there is a one- way causal relationship. Petroleum price is the largest contributor to chilli price formation at consumer level. Spatially, Medan is the reference market for the price of chili in Indonesia. Therefore, efforts must be made to ensure sufficient red chili supplies for markets in Medan areas so that the price of red chili does not fluctuate significantly. Keywords : Capsicum annuum L., causality, integration, variance decomposition, VECM ABSTRAK Cabai merah dipandang sebagai salah satu komoditas strategis di Indonesia, terutama karena harganya sangat fluktuatif sehingga sering menyebabkan inflasi tinggi. Makalah ini bertujuan untuk membahas integrasi pasar, menentukan pasar acuan, dan pembentukan harga cabai merah dengan menggunakan data harga bulanan periode Januari 2011Mei 2017. Integrasi pasar cabai merah dianalisis dengan pendekatan kointegrasi Johansen menggunakan Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian menunjukkan adanya keterkaitan jangka panjang antara harga di tingkat petani, grosir, dan konsumen. Namun, derajat integrasi pasar secara vertik al tidak cukup kuat. H arga produsen dan harga grosir memengaruhi harga konsumen, ada hubungan kausal satu arah. Harga BBM berpengaruh terbesar terhadap pembentukan harga cabai merah di tingkat konsumen. Secara spasial, Medan adalah pasar acuan ( price leader) untuk harga cabai di Indonesia. Oleh karena itu, harus diupayakan agar pasokan cabai merah ke pasar-pasar di Medan selalu tercukupi agar harga cabai merah tidak berfluktuasi secara signifikan. Kata kunci : Capsicum annuum L., dekomposisi keragaman, integrasi, kausalitas , VECM PENDAHULUAN Harga komoditas pertanian, terutama komoditas hortikultura, selalu berfluktuasi dan cenderung meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya volatilitas harga pangan dan inflasi. Fluktuasi harga komoditas pertanian disebabkan, antara lain, oleh bencana alam, produksi musiman, fasilitas penyimpanan yang tidak memadai, dan respons petani yang tidak tepat terhadap sinyal harga (Adebusuyi 2004; Udoh dan Sunday 2007). Harga yang menguntungkan memacu produksi yang lebih banyak. Namun, mayoritas petani memiliki keterbatasan modal untuk merespons perubahan harga (Okoh and Egbon 2005). Pemasaran komoditas pertanian yang efisien akan menguntungk an produsen dan konsumen karena surplus produksi di satu tempat dapat disalurkan ke tempat lain yang mengalami defisit dengan biaya tata niaga yang layak (Adenegan 2012). Efisiensi pasar adalah kondisi ekuilibrium di mana semua peluang yang menguntungkan dapat dimanfaatkan oleh masing-masing pelaku pemasaran sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Apabila perbedaan harga antar- pasar lebih kecil dari biaya transfer maka dapat dikatakan pasar berjalan secara efisien. Nam un, jika perbedaan harga antarpasar lebih besar daripada biaya transfer maka dapat disimpulkan bahwa pasar berjalan tidak efisien (Negassa et al. 2003).

PAGE – 2 ============
40 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018: 39-53 Integrasi pasar spasial mengacu pada pergerakan harga di pasar yang terpisah secara spasial atau sejauh mana guncangan permintaan dan penawaran yang muncul di satu pasar ditransmisikan ke pasar lain di lokasi yang berbeda secara geografis. Menurut Barrett dan Li (2002), integrasi pasar didefinisikan sebagai kemampuan menjual produk antara pasar di mana permintaan, penawaran, dan biaya transaksi di pasar yang berbeda menentukan harga dan arus perdagangan secara bersamaan dan transmisi guncangan harga dari satu pasar ke pasar yang lainnya. Oleh karena itu, transmisi harga dan integrasi pasar dapat menunjukkan performa pemasaran yang terjadi. Integrasi pasar spasial memiliki relevansi dengan sektor pertanian karena komoditas pertanian sering kali kamba ( bulky), mudah rusak, dan produksi terkonsentrasi di satu lokasi, sementara konsumsi terkonsentrasi di tempat lain yang sering kali mengakibatkan biaya transportasi yang mahal (Sexton et al. 1991). Selain itu, berfungsinya pasar dan saluran pemasaran sangat penting untuk mengetahui dampak dari berbagai kebijakan ekonomi, seperti kebijakan makroekonomi dan perdagangan. Pasar yang tersegmentasi secara spasial mengisolasi pelaku pasar dan membatasi transmisi insentif harga. Studi Goletti et al. (1995) menunjukkan bahwa integrasi pasar ditentukan oleh perilaku pedagang dan kondisi pasar, infrastruktur pemasaran yang terkait dengan fasilitas transportasi, komunikasi, dan tempat penyimpanan yang menyebabkan margin pemasaran yang tinggi. Kebijakan pemerintah juga dapat memengaruhi pasar melalui kebijakan stabilisasi harga, pembatasan perdagangan, dan peraturan yang terkait dengan transportasi. Rapsomanikis et al. (2004) menyatakan perilaku oligopoli dan kolusi antar- pedagang menjadi penentu terjadinya integrasi pasar. Pedagang dapat mempertahankan perbedaan harga antarpasar di tingkat yang lebih tinggi dari biaya transfer. Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan dari data Susenas 2014, rata-rata konsumsi cabai merah (dikonversi ke cabai merah segar) sekitar 1, 58 kg/kapita/tahun. Angka partisipasi konsumsi cabai merah pada 2011 sekitar 65,3% (Soedjana 2013). Berdasarkan hasil olahan data Susenas 2014, angka elastisitas harga cabai merah sekitar -0,82 (inelastis), ini berarti bahwa cabai merah merupakan komoditas yang tidak dengan mudah dapat digantikan atau dikenal dengan barang pokok, permintaan cabai merah tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan harga. Sayuran, termasuk cabai merah, sangat mudah rusak karena mengandung air. Harga cabai merah sering kali tinggi karena tingginya biaya produksi dan biaya transaksi pemasaran dari petani yang berskala kecil dan tersebar. Harga cabai pada umumnya rendah selama periode panen utama dan meningkat secara dramatis pada periode sebelum panen berikutnya. Di daerah produsen utama, cabai merah memiliki musim panen kecil dan besar di mana harga rendah selama musim panen raya, ketika petani umumnya menjual hasilnya segera setelah panen, biasanya antara bulan April sampai Juni, sedangkan musim panen kecil terjadi pada bulan September sampai November, karena itu harga cabai merah cenderung fluktuatif menurut musim. Salah satu cara untuk mengurangi fluktuasi harga adalah memasarkan produk dari daerah yang mengalami surplus (daerah produsen) ke daerah defisit (konsumen). Sentra produksi cabai merah Indonesia masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, sedangkan konsumen cabai merah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, distribusi cabai merah ke sentra konsumsi akan berpengaruh pada harga di tingkat konsumen. Penelitian ini mengevaluasi integrasi spasial antara daerah sentra produsen dan sentra konsumen. Selain itu, tulisan ini juga menganalisis integrasi vertikal, yaitu integrasi pasar bagian hilir (produsen) ke pasar bagian hulu (konsumen). Analisis integrasi pasar dapat juga dilakukan untuk mengidentifikasi kegiatan perdagangan antarpasar dengan memanfaatkan pergerakan harga (Okoh dan Egbon 2005). METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Permasalahan dalam pemasaran hasil pertanian antara lain adalah lemahnya infrastruktur, kurang memadainya informasi pasar, relatif kecilnya skala pasar hasil pertanian, kurangnya pengetahuan petani tentang grading dan handling , serta tingginya biaya transaksi. Biaya transaksi yang tinggi dihadapi oleh petani di negara berkembang terutama disebabkan oleh tingginya biaya transportasi sebagai akibat dari jauhnya jarak dari sentra produksi ke sentra konsumsi, kondisi jalan yang buruk, dan pembayaran pelayanan jasa kepada pedagang perantara (Makhura dan Mokoena 2003 ). Konsep efisiensi pemasaran sangat terkait dengan konsep integrasi pasar (Sharp dan Uebele 2013). Definisi operasional integrasi pasar dikenal dengan the Law of One Price (LOP) (Edi et al. 2014; Zunaedah et al. 2015;

PAGE – 3 ============
INTEGRASI PASAR DAN PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH D I INDONESIA 41 Reni Kustiari, Wahyuning K. Sejati, Riva Yulmahera Gluschenko 2018). LOP menyatakan bahwa produk yang sama dijual dengan harga yang relatif sama di berbagai pasar, hanya dibedakan oleh biaya transportasi (Monke dan Petzel 1984; Crucini et al. 2010). Integrasi pasar mengacu pada hubungan jangka panjang antarharga (Ghafoor et al. 2012 ). Integrasi pasar juga merupakan sinyal dari transmisi harga dan informasi tentang keterkaitan antarpasar yang terpisah (Golleti et al. 1995). Analisis harga pasar meningkatkan pemahaman terkait dengan sinyal harga, arah perubahan, dan transmisi harga dari pusat produksi ke wilayah konsumsi. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data runtut waktu ( time series ) harga produsen, harga grosir, dan harga konsumen bulanan dari Januari 2011 Mei 2017 yang dipublikasi oleh Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian. Analisis Data Data time series pada umumnya bersifat tidak stasioner (Pavel dan Barry 2005). Data time series dikatakan stasioner jika nilai rata-rata dan variasinya konstan sepanjang waktu (Vasciaveo et al. 2013). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan persamaan regresi yang spurious atau semu ( spurious regression ), sehingga estimasi parameter yang dihasilkan tidak stabil (Granger dan Newbold 1974). Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah dengan melakukan diferensia si terhadap series data yang digunakan, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat I(n). Integrasi pasar dan transmisi harga merupakan indikator untuk mengukur kinerja pasar. Integrasi pasar spasial mengukur sejauh mana pasar di lokasi yang jauh secara geografis (seperti antarwilayah) memiliki harga jangka panjang yang sama dan hanya dibedakan oleh biaya transportasi/distribusi dan margin pemasaran (Ardeni 1989). Analisis integrasi pasar dilakukan melalui tiga tahapan analisis, yaitu (1) uji akar unit, (2) uji kointegrasi/keterpaduan, dan (3) uji kausalitas. Uji akar unit untuk mengetahui stasionaritas data time series yang digunakan dalam model dan untuk mengetahui ordo stasionaritas data time series tersebut. Uji kointegrasi/keterpaduan dilakukan untuk mengidentifikasi keterkaitan dan hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari data time series . Pendeteksian keberadaan kointegrasi dapat dilakukan dengan model Ravalli on (1986 ), Engle dan Granger (1987), atau Johansen (1988 ). Uji kausalitas dilakukan untuk melihat hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara dua variabel harga (Katrakilidis 2008). Uji Stasioneritas/Uji Akar Unit Terdapat beberapa uji stasioneritas yang dapat digunakan, antara lain, Augmented Dickey- Fuller (1979), Phillips-Perron (1988) dan Kwaitkowski-Phillips-Schmidt-Shin (1992). Tulisan ini akan melakukan uji stasioneritas variabel-variabel yang digunakan dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) karena uji ADF membatasi adanya akar yang eksplosif (Balcombe d an Fraser 2013). Formulasi uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF) dapat dituliskan sebagai berikut: (1) Hipotesis nol adalah data deret waktu y terintegrasi pada derajat satu dapat diuji berdasarkan nilai statistik-t dari koefisien dugaan a1. Jika hipotesis ditolak, yaitu jika statistik t dugaan koefisien a 1 lebih besar dari nilai kritis statistik uji ADF, berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis yang menyatakan bahwa data deret waktu y bersifat stasioner dapat diterima. Uji Kointegrasi Pada tulisan ini uji kointegrasi dilakukan dengan m odel Johansen berdasarkan estimasi maximum likelihood yang lebih baik dibandingkan dengan model Engle-Granger dan Ravallion (Enders 2004). Uji kointegrasi Johansen dapat menunjukkan jumlah vektor kointegrasi. Jika variabel-variabel terkointegrasi maka dapat menerapkan vector autoregressive ( VAR) standar yang hasilnya akan identik dengan OLS, setelah memastikan variabel-variabel tersebut stasioner pada derajat (ordo) yang sama. Jika pengujian membuktikan terdapat vektor kointegrasi, maka dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel dalam persamaan mempunyai hubungan jangka panjang dan dapat menerapkan error correction model (ECM) untuk persamaan tunggal dan vector error correction model (VECM) untuk sistem persamaan. Pada tulisan ini akan digunakan pengujian dengan memfokuskan pada mekanisme koreksi kesalahan dalam bentuk VECM untuk menguji dinamika jangka pendek atau kecepatan penyesuaian ke keseimbangan jangka panjang. Persamaan yang digunakan adalah: . (2)

PAGE – 4 ============
42 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018: 39-53 , , , , di mana: X = harga produsen (Rp/kg) Y = harga grosir (Rp /kg) Z = harga konsumen (Rp/kg) DRM = peubah dummy hari besar DPN = peubah dummy panen DKP = peubah dummy kebijakan pemerintah D = i-1 merupakan perkalian antara vektor kointegrasi tunggal = ( 1, 2, 3 dan parameter kecepatan penyesuaian = 1,2) Et = komponen galat Uji Kausalitas Hubungan timbal balik harga antarpasar dilakukan dengan pendekatan Granger causality . Model persamaan yang digunakan untuk uji kausalitas Granger dapat ditulis sebagai berikut: (3) (4) (5) Analisis Variance Decompositions Analisis variance decompositions (dekom- posisi varian) dilakukan untuk melihat dinamika jangka pendek pasar cabai merah dan menunjukk an proporsi pergerakan harga di pasar tertentu yang disebabkan oleh guncangan harga di pasar terkait dan ya ng disebabkan oleh guncangan harga di pasar lainnya. Dengan kata lain, dekomposisi varian digunakan untuk memprediksi kontribusi keragaman setiap harga karena adanya perubahan harga di pasar tertentu, sehingga dapat diidentifikasi pasar dominan/acuan dalam pembentukan harga di pasar lainnya. Analisis dekomposisi varian menggunakan sistem Vector Auto Regressive (VAR) yang dapat ditulis sebagai berikut (Rapsomanikis et al. 2004): .. (6) di mana y t = vektor variabel endogen; x t = vektor variabel eks ogen; dan t = vektor kesalahan. Analisis dekomposisi varian menggambarkan efek dari shock s sebesar standar deviasi terhadap residual. Analisis Pembentukan Harga Analisis pembentukan harga dapat dilakukan melalui (1) pendekatan permintaan dan penawaran ( supply demand approach ): dari tingkat permintaan dan penawaran yang ada ditentukan harga keseimbangannya ( equilibrium price ) dengan menghitung harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang dapat diterima oleh produsen sehingga akan terbentuk jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan; (2) pendekatan biaya ( cost oriented approach ): harga ditentukan dengan cara menghitung biaya yang dikeluarkan produsen ditambah dengan tingkat keuntungan yang diinginkan berdasarkan markup pricing dan break even analysis ; dan (3) pendekatan pasar ( market approach ): merumuskan harga dengan menghitung variabel-variabel yang memengaruhi pasar dan harga, seperti situasi dan kondisi infrastruktur, produksi, stok, dan harga komoditas lainnya (Prastowo et al. 2008). Tulisan ini akan menggunakan pendekatan pasar. Harga komoditas yang terbentuk pada tingkat konsumen sangat tergantung pada efisiensi dari kegiatan distribusi komoditas terkait, sedangkan efisiensi dari kegiatan distribusi komoditas sangat dipengaruhi oleh panjangnya mata rantai distribusi dan besarnya margin keuntungan pelaku pemasaran di sepanjang rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan semakin kecil margin keuntungan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin efisien. Selain itu, efisiensi kegiatan distribusi komoditas juga dipengaruhi oleh kondisi transportasi. Gangguan terhadap sektor transportasi yang berakibat pada meningkatnya biaya dan jangka waktu penyampaian akan berdampak negatif terhadap efisiensi distribusi. Secara sederhana pembentukan harga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan biaya pemasaran sehingga dapat diformulasikan sebagai berikut (Prastowo et al. 2008): Pt = f (Pt- 1, Pmt, Pst, Qt, Xt,Dt, Zt) .. (7) di mana: P t = harga komoditas di pasar tertentu; Pmt = harga komoditas di pasar lainnya; P st = harga komoditas substitusi ; Qt = volume produksi; Xt = faktor-faktor dari sisi permintaan; Z t,= faktor- faktor yang memengaruhi distribusi direpres en-tasikan dengan harga BBM, dan D t = variabel dummy yang menggambarkan masa panen, hari

PAGE – 5 ============
INTEGRASI PASAR DAN PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH D I INDONESIA 43 Reni Kustiari, Wahyuning K. Sejati, Riva Yulmahera besar, dan kebijakan pemerintah yang memengaruhi pembentukan harga komoditas. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Produksi Cabai Merah Selama periode waktu 2011 2017, produksi cabai merah di Indonesia cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 2,72 %/ tahun, produksi tertinggi dicapai pada tahun 2014, yaitu sebesar 1,07 juta ton kemudian turun menjadi 1,04 juta ton tahun 2016 dan naik menjadi 1,08 pada tahun 2017 (Tabel 1). Selain melakukan impor cabai merah, Indonesia melakukan ekspor cabai merah, antara lain ke Singapura, Malaysia, Saudi Arabia, Jepang, dan Vietnam. Volume ekspor cabai merah tampak fluktuatif dengan kecenderungan yang menurun. Laju penurunan ekspor selama periode 2011 2017 sekitar -9,44%/tahun. Penurunan ekspor ini dapat disebabkan oleh harga cabai merah Indonesia yang tidak kompetitif di pasar dunia. Harga cabai merah di tingkat petani meningkat dari sekitar Rp11. 100/kg pada 2012 menjadi Rp17.800/kg pada 2013, dan menjadi Rp24.100/ kg pada 2016 (Ditjen Hortikultura 2017). Perkembangan Harga Cabai merah Seperti harga komoditas sayuran lainnya, harga cabai merah tampak selalu berfluktuasi. Margin antara harga konsumen, harga grosir, dan harga produsen cenderung mengecil pada bulan September sampai November, yaitu pada saat terjadinya panen kecil. Rata-rata margin antara harga konsumen dan harga grosir pada periode Januari 2011Mei 2017 mencapai Rp5.956/kg atau 21,2% dari harga konsumen, sedangkan rata-rata margin antara harga grosir dan harga produsen mencapai Rp5.306/kg atau 23,9% dari harga grosir. Tingginya tingkat margin mengindikasikan bahwa pelaku pasar di jalur distribusi memiliki market power yang cukup kuat sehingga dapat menentuk an harga ( price maker ) dan kemungkinan menetapkan harga di atas biaya marginalnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasar cabai merah mengarah pada pasar persaingan tidak sempurna. Sela ma periode Januari 2011Mei 2017, harga konsumen, harga grosir, dan harga Tabel 1. Perkembangan produksi, impor, dan ekspor cabai merah di Indonesia, 2012017 (ton) Tahun Produksi 1) Impor 2) Ekspor 2) 2011 888.852 7. 501 1. 448 2012 954.310 2. 822 545 2013 1. 012.879 294 570 2014 1. 074.602 30 250 2015 1. 045.182 43 536 2016 1. 045.586 0 867 2017 1. 074.777 0 634 Pertumbuhan (%/thn) 2, 72 -82,84 -9, 44 Sumber: 1) Ditjen Hortikultura ( 2017); 2) UN Comtrade (diolah) Sumber: Ditjen Hortikultura ( 2017) Gambar 1. Perkembangan harga produsen, harga grosir, dan harga konsumen cabai merah di Indonesia, Januari 2011Mei 2017 020000 40000 60000 80000 13579 1113579 1113579 1113579 1113579 1113579 11135 2011201220132014201520162017 Harga Produsen (Rp/kg) Harga Grosir (Rp/kg) Harga Konsumen (Rp/kg)

PAGE – 6 ============
44 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018: 39-53 produsen menunjukkan pola pergerakan yang sama dengan tingkat fluktuasi yang berbeda (Gambar 1 ). Harga konsumen bergerak lebih stabil dibandingkan dengan harga grosir dan harga konsumen. Coefficient of variation (CV) harga produsen mencapai 53%, sedangkan CV harga grosir dan harga konsumen masing- masing hanya 48% dan 35%. H al ini sama dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Anindita dan Sawitania (2013). Disparitas dalam variasi harga produsen dan harga konsumen sangat terkait dengan kinerja rantai pasok. Sela ma periode Januari 2011 Mei 2017, harga produsen, harga grosir, dan harga konsumen menunjukkan laju peningkatan, masing-masing sekitar 1,08%, 0,92%, dan 0,54% per bulan. Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mengimpor cabai merah dari negara- negara penghasil cabai merah, seperti India, China, Vietnam, Thailand, dan Austria. Volume impor cabai merah tampak fluktuatif dengan kecenderungan yang menurun, laju penurunan impor selama periode 2010 2016 sekitar -46,37%/ tahun. Hal ini antara lain karena dikeluarkannya Permentan No. 3/2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) pada tanggal 1 Februari 2012 yang paralel dengan Permendag No. 30/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura (KIPH). RIPH yang baru menetapkan harga referensi untuk impor bawang merah dan cabai merah yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan. Harga referensi untuk cabai merah dan cabai rawit masing-masing adalah Rp26.300/kg dan Rp28.000/kg. Gambar 2 menunjukkan fluktuasi harga konsumen cabai merah di beberapa kota sentra produksi dan sentra konsumsi cabai merah, yaitu di Medan, Padang, DKI Jakarta, Bandung, dan Semarang. Padang sebagai sentra produksi cabai merah masih mendatangkan cabai merah dari Medan (Sumatera Utara), Semarang (Jawa Tengah), dan Bandung (Jawa Barat). Sebaliknya, cabai merah dari Padang juga banyak dikirimkan ke DKI Jakarta dan Sumatera Utara (Kustiari et al. 2016). Dengan demikian, harga cabai merah di pasar-pasar tersebut kemungkinan besar terintegrasi satu dengan yang lainnya. Selama periode bulan Januari 2011 Desember 2016, koefisien keragaman harga grosir yang tertinggi terjadi di DKI Jakarta, wilayah sentra konsumsi cabai merah. Koefisien variasi harga di DKI Jakarta mencapai 82%, demikian pula perkembangan harganya menunjukkan peningkatan tertinggi dengan laju rata-rata sekitar 2% per bulan. Koefisien keragaman harga grosir yang terkecil terjadi di Medan, daerah sentra produksi cabai merah, yaitu sekitar 44% dengan laju pertumbuhan rata- rata sebesar 0,47% per bulan. Laju pertumbuhan harga grosir di Medan lebih besar dari pada laju pertumbuhan di Bandung (0,42%/bulan), tetapi lebih kecil dari laju pertumbuhan di Padang (0,55%/bulan) dan Semarang (0,95%/bulan). Integrasi Vertikal Analisis integrasi vertikal pasar cabai merah dilakukan dengan menganalisis integrasi antara harga di tingkat produsen, grosir, dan konsumen. Dua pasar dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga yang terjadi di suatu pasar direspons oleh perubahan harga di pasar lainnya. Hal ini karena perubahan harga di suatu pasar, secara parsial atau total ditransmisikan ke harga di pasar lainnya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil uji ADF menunjukkan bahwa harga produsen dan harga konsumen tidak stasioner Sumber: Ditjen Hortikultura ( 2017) Gambar 2. Perkembangan harga konsumen cabai merah di beberapa kota besar, 20112016 020000 40000 60000 80000 100000 120000 13579 1113579 1113579 1113579 1113579 1113579 11201120122013201420152016 Medan (Rp/kg) Padang(Rp/kg) Jakarta(Rp/kg) Bandung (Rp/kg) Semarang (Rp/kg)

PAGE – 8 ============
46 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018: 39-53 oleh perubahan permintaan (transmisi harga dari hilir ke hulu) akan memberikan efek transmisi harga yang berbeda dengan shock akibat perubahan penawaran. Pengujian kausalitas dalam tulisan ini dilakukan dengan menggunakan metode Granger. Tabel 4 menunjukkan bahwa harga produsen cabai merah dan harga grosir tidak saling memengaruhi. Namun, perubahan harga produsen dan harga grosir cabai merah ditransmisikan ke harga di tingkat konsumen, tetapi tidak sebaliknya. Harga produsen memengaruhi harga konsumen dengan peluang salah menolak hipotesis y ang benar sebesar 2%, sedangkan harga grosir memengaruhi har ga konsumen dengan peluang salah memutuskan menolak hipotesis bahwa harga grosir meme- ngaruhi harga konsumen sebesar 6%. Hal ini berbeda dengan hasil studi yang dilakukan Nuraeni et al. (2015) yang menunjukkan bahwa harga cabai merah di tingkat produsen dan harga di tingkat konsumen di Jawa Barat tidak saling memengaruhi. Analisis faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan harga cabai merah dilakukan dengan menggunakan pendekatan model Error Correction Mechanism (ECM). Estimasi dalam model ECM terdiri dari analisis jangka pendek dan jangka panjang. Pada persamaan jangka pendek dimasukkan Error Correction Term (ECT) dari hasil estimasi persamaan jangka panjang. Pada model jangka pendek variabel-variabel yang digunakan adalah variabel difference- nya. Vari- abel-variabel bebas yang telah didiferensiasikan dalam jangka pendek menggambarkan distur- bance variabel itu sendiri. Perubahan variabel endogen akibat perubahan variabel-variabel eksogen dalam model jangka panjang akan diseimbangkan oleh error correction component periode sebelumnya (ECT t-1 ). Error correction component ini menunjukkan penyesuaian jangka pendek menuju ke keseimbangan jangka panjang (Juanda dan Junaidi 2012). Hasil analisis faktor pembentukan harga di tingkat konsumen pada model ECM disesuaikan dengan hasil uji kausalitas harga yang menunjukkan bahwa harga di tingkat produsen dan grosir berpengaruh secara signifikan terhadap harga di tingkat konsumen, sehingga perubahan harga di tingkat konsumen disebabkan oleh perubahan harga di tingkat produsen dan grosir. Hal ini menunjukkan bahwa pasar grosir mempunyai market power dalam menentukan harga di sepanjang rantai pemasaran cabai merah. Selain memasukkan harga produsen dan harga grosir, tulisan ini memasukkan variabel lain seperti produksi, harga BBM, harga produsen periode sebelumnya, dummy panen, dummy hari besar dan dummy kebijakan perdagangan (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura). Namun demikian, setelah dilakukan respesifikasi model maka variabel yang digunakan pada estimasi persamaan pembentukan harga konsumen cabai merah adalah hanya harga produsen, harga grosir, dan harga BBM saja (Tabel 5). Tabel 4. Hasil uji kausalitas harga cabai merah di tingkat peta ni, grosir, dan konsumen dengan metode Granger test No. Hipotesis F-statistic Prob. 1. Ha rga grosir does not cause Harga produsen 0, 1977 0, 8211 Harga produsen >> Harga grosir 2, 2682 0, 1118 2. Harga konsumen does not cause Harga produsen 0, 2619 0, 7704 Harga produsen >> Harga konsumen 4, 1614 0, 0200 3. Harga konsumen does not cause Harga grosir 0, 3768 0, 6876 Harga grosir >> Harga konsumen 2, 8524 0, 0651 Tabel 5. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan harg a cabai merah di tingkat konsumen jangka pendek Variabel Parameter Std. e rror t-statistic Prob. Inters ep 0,0069 0,0065 1,0552 0,2961 Harga produsen 0,2637 0,1368 1,9270 0,0593 Harga grosir 0,0951 0,0220 4,3263 0,0001 Harga BBM 0,4061 0,1638 2,4796 0,0164 ECT(- 1) -0,4785 0,1237 3,8678 0,0003 R-squared 0,51

PAGE – 9 ============
INTEGRASI PASAR DAN PEMBENTUKAN HARGA CABAI MERAH D I INDONESIA 47 Reni Kustiari, Wahyuning K. Sejati, Riva Yulmahera Hasil estimasi E CM untuk harga konsumen jangka pendek menunjukkan bahwa secara keseluruhan variabel bebas dalam model berpengaruh terhadap harga konsumen cabai merah. Nilai adjusted R-squared pada hasil estimasi ECM menunjukkan bahwa dalam jangka pendek keragaman harga konsumen dapat dijelaskan oleh variabel harga produsen, harga grosir, dan harga BBM sebesar 51%, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Dari hasil estimasi terlihat bahwa harga BBM merupakan variabel yang mempunyai pengaruh terbesar terhadap pembentukan harga cabai merah di tingkat konsumen. Harga BBM memiliki pengaruh sebesar 0,406. Angka tersebut mengindikasikan bahwa setiap kenaikan harga BBM sebesar 10% akan meningkatkan harga konsumen sebesar 4,1%. Peningkatan harga produsen sebesar 10% akan meningkatkan harga konsumen sebesar 2,6%, sedangkan peningkatan harga grosir sebesar 10% hanya akan meningkatkan harga konsumen sebesar 0,9%. Berdasarkan nilai koefisien ECT yang bertanda negatif dan signifikan dapat dikatakan bahwa spesifikasi model yang digunakan telah valid. Nilai koefisien ECT sebesar 0,47 menunjukkan saat fluktuasi dari variabel-variabel bebas dalam model menyimpang dari track jangka panjangnya, maka variabel-variabel tersebut akan melakukan penyesuaian kembali pada track keseimbangannya. Sekitar 47% penyesuaian dari harga jangka pendek menuju jangka panjang atau kesalahan dikoreksi sebesar 47% setiap bulan menuju keseimbangan jangka panjang. Berdasarkan Tabel 6 dalam model jangka panjang, variabel harga grosir dan harga BBM menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap pembentukan harga cabai merah di tingkat konsumen, sedangkan harga produsen menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan. Nilai adjusted R-squared menunjukkan bahwa dalam jangka panjang keragaman harga konsumen dapat dijelaskan oleh variabel harga produsen, harga grosir, dan harga BBM hanya sebesar 37%, sementara sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa petani sebagai produsen mempunyai posisi tawar yang relatif lemah dalam menentukan harga jual cabai. Sementara itu, harga grosir sangat memengaruhi harga konsumen baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Pada jangka panjang, harga BBM memiliki pengaruh sebesar 0,362. Angka tersebut mengindikasikan bahwa setiap kenaikan harga BBM sebesar 10% akan meningkatkan harga konsumen sebesar 3,6% . Peningkatan harga grosir sebesar 10% hanya akan meningkatkan harga konsumen sebesar 1%. Integrasi Spasial Pada tahun 2015, berdasarkan tingkat produksi, lima provinsi terbesar penghasil cabai merah di Indonesia berturut-turut adalah Jawa Barat (240. 864 ton), Sumatera Utara (178. 559 ton), Jawa Tengah (146.100 ton), Jawa Timur (95.439 ton), dan Sumatera Barat (96.255 ton) (Ditjen Hortikultura 2017). Oleh karena itu, analisis integrasi spasial dilakukan di lima kota besar yang terletak di wilayah sentra produksi cabai merah. Integrasi pasar spasial memiliki relevansi dengan komoditas hortikultura karena komoditas hortikultura pada umumnya mudah rusak dan produksi terkonsentrasi di satu lokasi sementara konsumsi terkonsentrasi di lokasi lainnya. Hal ini menyebabkan rantai pemasaran yang relatif panjang dan biaya transportasi yang mahal. Hasil uji stasioneritas menunjukkan bahwa sebagian besar data harga yang dianalisis menjadi stasioner setelah dilakukan pendiferensiasian satu kali (ordo 1), meskipun ada indikasi beberapa harga telah stasioner pada levelnya (Tabel 7). Namun demikian, kondisi stasioner akan lebih terjamin jika dilakukan diferensiasi satu kali (Sumaryanto 2009). Berdasarkan hasil uji kointegrasi pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai trace statistic dan maximum eigenvalue pada rank = 2 lebih besar dari crit ical value dengan tingkat signifikansi 5%, sehingga hipotesis nol yang menyatakan bahwa tidak ada kointegrasi ditolak dan hipotesis alternatif yang menyatakan adanya kointegrasi tidak ditolak, sehingga dapat dikatakan pada Tabel 6. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan harg a cabai merah di tingkat konsumen jangka panjang Variabel Parameter Std. error t-statistic Prob. Inters ep 0,0078 0,0072 1,0804 0,2847 Harga produsen 0,1783 0,1500 1,1882 0,2399 Harga grosir 0,1017 0,0243 4,1863 0,0001 Harga BBM 0,3621 0,1816 1,9938 0,0511 R-squared 0,37

PAGE – 10 ============
48 Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 36 No. 1, Mei 2018: 39-53 seluruh variabel terdapat hubungan jangka panjang yang signifikan dengan spesifikasi model yang digunakan adalah no deterministic trend dan lag 1. Berdasarkan uji kointegrasi dapat dikatakan bahwa pasar cabai merah terintegrasi secara spasial. Terdapat tiga vektor kointegrasi antara harga grosir di pasar-pasar yang dianalisis. Kelima harga tersebut memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang dan terdapat keterpaduan yang kuat antarpasar cabai merah, sehingga harga di satu pasar dapat digunakan untuk memprediksi harga di pasar lain. Analisis integrasi spasial untuk pasar produk pertanian telah banyak dilakuka n, antara lain oleh Firdaus dan Gunawan (2012), dan Katrakilidis (2008). Tab el 9 menyajikan hasil pengujian kausalitas harga grosir cabai merah di beberapa kota besar, yaitu Medan, Padang, DKI Jakarta, Bandung, dan Semarang. Lag dua digunakan dalam analisis Tabel 7 Hasil uji stasioneritas Augmented Dickey Fuller (ADF) Variabel Intersep Intersep dan tren t-Statistic Prob.* t-statistic Prob.* Level Harga grosir di Medan -4, 1916 0, 0014 -5, 0405 0, 0006 Harga grosir di Padang -4, 0611 0, 0021 -4, 8603 0, 0010 Harga grosir di DKI Jakarta -3, 2962 0, 0188 -4, 4413 0, 0036 Harga grosir di Bandung -4, 2538 0, 0011 -4, 6713 0, 0019 Harga grosir di Semarang -4, 1613 0, 0015 -5, 8207 0, 0000 First difference Harga grosir di Medan -6, 8327 0, 0000 -6, 8626 0, 0000 Harga grosir di Padang -6, 2164 0, 0000 -6, 2390 0, 0000 Harga grosir di DKI Jakarta -7, 3088 0, 0000 -7, 2660 0, 0000 Harga grosir di Bandung -7, 4688 0, 0000 -7, 4387 0, 0000 Harga grosir di Semarang -6, 7625 0, 0000 -6, 7215 0, 0000 Tabel 8. Hasil uji kointegrasi harga cabai merah di tingkat petani, grosir, dan konsumen Unrestricted Cointegration Rank Test (trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace statistic 0.0500 critical v alue Prob.** None * 0, 5410 120,2420 60,0614 0, 0000 At most 1 * 0, 3979 68,0728 40,1749 0, 0000 At most 2 * 0, 2878 34,0863 24,2760 0, 0021 At most 3 0, 1509 11,3442 12,3209 0, 0725 At most 4 0, 0057 0, 3854 4, 1299 0, 5979 Trace test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0,05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0,05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace statistic 0.0500 critical value Prob.** None * 0, 5410 52,1692 30,4396 0, 0000 At most 1 * 0, 3979 33,9865 24,1592 0, 0017 At most 2 * 0, 2878 22,7422 17,7973 0, 0083 At most 3 0, 1509 10,9587 11,2248 0, 0557 At most 4 0, 0057 0, 3854 4, 1299 0, 5979 Max-eigenvalue test indicates 3 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level *denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

166 KB – 15 Pages