HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM. A. Pengantar. Ketika membicarakan pemilihan umum (Pemilu) tak dapat dihindari untuk menguraikan.

117 KB – 35 Pages

PAGE – 1 ============
BAB VIII HUKUM ACARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM A. Pengantar Ketika membicarakan pemilihan umum (Pem ilu) tak dapat dihindari untuk menguraikan arti penting konsep demokrasi. Keduanya memiliki relasi erat yang tak bisa dipisahkan pengkajiannya. Menggunakan istilah Arbi Sanit, Pemilu merupakan institusi yang mengejawantahkan demokrasi. 578 Bahkan menurut Valentino Larcinese tingkatan partisipasi dalam Pemilu merupakan ukuran terhadap kualitas demokrasi itu sendiri. Selengkapnya Larcinese menyatakan; In an idealized vision of democracy, public decisions are based on the preferences and the opinions of all the members of a polity. It is therefore common in the public debate to regard the extent of electoral participation as a measure of the quality of democratic governance .579 Kata demokrasi secara semantik be rasal dari bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos . ™Demos™ berarti rakyat dan ™kratos™ berarti pemerintahan ( rule ) atau bisa pula dimaknai dengan kekuasaan ( strength).580 Sehingga dalam pemahaman sederhana, demokrasi dapat diberi makna sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak pada rakyat banyak. Bukan pemerintahan yang terpusat kepada satu orang (monarki), bukan pula tersentralisasi kepada sekelompok orang (oligarki). Saat ini, paham demokrasi terus berkembang, bahkan demokrasi saat ini dipandang memiliki makna yang sama dengan republik. James MacGregor Burns, misalnya, menyebutkan demokrasi lebih tepat dimaknai sebagai sebuah demokrasi perwakilan (representative democracy ). Burns selengkapnya menyebutkan sebagai berikut; 578 Arbi Sanit, Sistem Pemilihan Umum dan Perwak ilan Politik, dalam Andy Ramses M. (Edt), Politik dan Pemerintahan Indonesia, (Jakarta, Masyarakat Ilmu Pemeri ntahan Indonesia, 2009), hal. 213. 579 Valentino Larcinese, Does Political Knowledge Increase Turnout? Ev idence from the 1997 British General Election , www.ssrn.com , diunduh pada Senin, 20 April 2010. 580 James MacGregor Burns, et.al, Government by the People, (New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1989), hal. 3. Burns menyebutkan perbedaan semantik (asal kata) demokrasi. Banyak ahli tidak berbeda dalam menjelaskan asal kata ™demos™, namun banyak yang berbeda dalam mengutip kata ™kratos™, ada yang menyebutnya berasal dari kata kratis, atau kratia, atau cratein, dan xratos. Pada dasarnya semu a kata tersebut bermakna sama. Lihat pula, Sunil Bastian dan Robin Luckham (Edt), Can Democracy be Designed ?, The Politics of Institutional Choice in Conflict-torn Societies , (London&Newyork: Zed Books, 2003), hal.15. 213

PAGE – 2 ============
Today democracy is more likely to mean a representative democracy Œor, in Plato™s term, a republicŒ in which all the people do not actually make the laws or administer them but choose the ones who do .581 Sejak pemerintahan berkonsep monarki otoriter telah banyak ditinggalkan negara- negara dunia dan beralih kepada konsep pemerintahan rakyat. Demokrasi kemudian menjadi alternatif bahkan didaulat menjadi asas utama pemerintahan yang bisa dikatakan berlaku universal. Bahkan hampir bisa dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak menyebut dirinya sebagai negara demokrasi. Arend Lijphart menyatakan bahwa upaya untuk membentuk sebuah negara demokratis bukanlah pekerjaan mudah. Lijphart menyebutkan bahwa, fl It is not a system of government that fully embodies all democratic ideals, but one that approximates them to a reasonable degree .fl582 Bagi Lijphart seluruh ide mengenai demokr atisasi hanyalah konsep imajinatif yang utopis (angan-angan) apabila diterapkan secara kaku, namun kehendak terhadap bentuk negara demokratis itu akan dapat diwujudkan apabila diletakan kepada tingkatan paling mungkin (a reasonable degree ). Sehingga pemerintahan demokrasi yang tepat bukanlah sepenuhnya pemerintahan yang dikelola oleh rakyat kebanyakan. Mewujudkan asas demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan sebuah negara akan tidak mungkin dengan melibatkan seutuhnya seluruh warga negara. Walaupun secara konsep hal itu mungkin sangat ideal. Tetapi sebagaimana dinyatakan Lijpart hal itu adalah tidak mungkin. Sehingga pembatasan peran rakyat dalam derajat tertentu harus dilakukan untuk mewujudkan asas demokrasi itu sendiri. Pembatasan itu melahirkan konsep pengisian pemerintahan yang ditentukan oleh rakyat melalui mekanisme tertentu. Namun sebelum mengurai mengenai mekanisme pemilihan pemerintahan tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan suatu pertanyaan umum, yaitu kenapa rakyat perlu sebuah pemerintahan? Pertanyaan itu dijawab dengan tepat oleh Ha rris G Warren, Harry D. Leinenweber, dan Ruth O. M. Andersen. Menurut mereka pembatasan tersebut perlu dilakukan karena didasari kebutuhan rakyat itu sendiri. Menurut Warren ba hwa kebutuhan akan pemerintahan itu karena, 581 Ibid. James MacGregor. 582 Arend Lijphart, Democracy in Plural Societies, A Comparative Exploration, (New Haven and London, USA: Yale University Press, 1977), hal. 4. 214

PAGE – 3 ============
fiwe must have an organization that will do for us those things that each of us cannot do alone or that can be done better by a group .fl583 Sehingga keberadaan sebuah pemerintahan adalah untuk memudahkan fikinerjafl rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan hidup mereka dalam arti yang menyeluruh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul fiPolitikfl bahwa, fi every state is a community of some kind, and every community is established with a view to some good, for mankind always act in order to ob tain that which they think good .fl584 Seragam dengan Plato, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Hobbes menuturkan kebutuhan akan pemerintahan tidak hanya untuk mencegah timbulnya pertikaian golongan, anarki, dan pemenuhan kehendak umum rakyat, tetapi juga perlindungan ekonomi yang timbul akibat persaingan pasar. 585 Bahkan oleh Dennis C. Mueller dalam Constitutional Democracy dijelaskan bahwa kebaikan-kebaikan yang dibutuhkan rakyat yang harus diwujudkan oleh pemerintah diantaranya adalah perlindungan dari kejahatan, mendapat kan pendidikan, terhindar dari kemiskinan, dan kebangkrutan ekonomi bangsa. 586 Untuk memenuhi kebaikan yang diharapkan oleh komunitas (rakyat), menurut Plato seringkali negara dan fimesinfl politik ingin memenuhi kebaikan dengan hasrat ingin mencapai hingga tingkatan paling terbaik. 587 Negara yang direpresentasikan kepada pemerintah dibentuk dengan harapan mampu menciptakan kondisi terbaik bagi rakyat. Pemerintah yang mengupayakan kebaikan bagi rakyatnya itulah yang menjadi impian rakyat. Sehinggga adagium Abraham Lincol bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat dan untuk rakyat itu benar-benar wujud. Rakyat memang membutuhkan pemerintahan yang memiliki ke hendak untuk menyejahterakan rakyatnya. Kebutuhan akan pemerintahan tersebut memerlukan mekanisme pemilihan khusus agar pemerintahan yang terpilih dapat menjalankan harapan dari pemilihnya. Dalam perkembangan teori demokrasi dan mekanisme pemilihan peme rintahan yang mewakili rakyat itu lahirlah konsep pemilihan umum (Pemilu). Menurut Colin Turpin dan Adam Tomkins dalam British Government and the Constitution , mengutip pernyataan Joseph Schumpeter, sebuah negara dapat dinyatakan menganut paham demokrasi ap abila terdapat tatanan yang membuat rakyat 583 Harris G. Warren et.al., Our Democracy at Work, (USA: Prentice Hall Inc, 1963), hal. 3. 584 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1974), hal. 145. 585 Dennis C. Mueller, Constitutional Democracy , (New York: Oxford University Press, 1996), hal. 50. 586 Ibid, hal. 4-8. 587 Ibid. 215

PAGE – 4 ============
mampu menentukan menerima atau menola k seseorang untuk memimpin mereka ( democracy, says Schumpeter, means only that the people have the opportunity of accepting or refusing the men who are to rule them).588 Pemilihan Umum berasal dari kata general election yang dalam Kamus Hukum Black dimaknai sebagai sebuah pemilihan yang dila ksanakan dalam periode waktu tertentu dan dilakukan untuk mengisi seluruh kursi (legislatif dan eksekutif-pen). 589 Kata election sendiri dalam Kamus Black dimaknai sebagai sebuah pros es memilih seseorang untuk menjabat sebuah posisi tertentu.590 Pemilu umumnya digunakan untuk mengisi jabatan di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan bisa pula untuk lembaga yudisial, baik di tingkat pusat maupun daerah. 591 Turpin dan Tomkins menjelaskan bahwa terjad i perkembangan pemahaman mengenai Pemilu (general election ) yang pada mulanya merupakan konsep pemilihan anggota parlemen menjadi bermakna lebih luas menjadi pemilihan pemerintahan. Selengkapnya Turpin dan Tomkins menyatakan sebagai berikut; In a general election the election is of members of Parliament to represent constituencies. In modern times, however, elections have become less about electing individual members of Parliament and more about electing a government .592 B. Perselisihan Hasil Pemilu Stephen A. Siegel menyatakan bahwa permasalahan penghitungan suara dalam Pemilu merupakan aktivitas tertua dalam sebuah negara bangsa di antara pelbagai permasalahan- permasalahan paling tua lainnya dalam hukum tata negara. 593 Oleh banyak para pemikir hukum tata negara permasalahan penghitungan suara te rsebut juga dicarikan konsep penyelesaiannya. Pasca pembentukan Konstitusi 1920 Austria yang disusun oleh Hans Kelsen, maka keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan penyelesaian perkara-perkara konstitusional menjadi tren yang mendunia. Beberapa Negara kemudian menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang memilik i kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. 588 Colin Turpin dan Adam Tomkins, British Government and the Constitution , Sixth Edition, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 494. 589 Bryan A. Garner (Edt), Black™s Law Dictionary, (St. Paul, Minn: West Group, 1999), hal.536. 590 Ibid. 591 www.en.wikipedia.org/wiki/Election , diunduh pada Sabtu, 24 April 2010, pukul 17.00 WIB. 592 Opcit, Colin Turpin dan Adam Tomkins, hal. 507. 593 Stephen A. Siegel, The Conscientious Congressman™s Guide to The Electoral Count Act of 1887 , Florida Law Review, July, 2004, www.ssrn.com/abstract=1265227 . Diunduh pada Senin, 26 April 2010, pukul 21.00 WIB, hal. 1. 216

PAGE – 5 ============
Menurut Peter Haberle, keberadaan fungsi dan kewenangan sebuah constitutional court tidak lepas dari aspek kesejarahan sebuah negara. Dalam kesejarahan Jerman, Austria dan beberapa Negara yang mengitarinya, terkait de ngan keberadaan Mahkamah Konstitusi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah kehadiran the State Court of Justice dari Republik Weimar (1919) memiliki pengaruh terhadap terbentuknya the German Federal Constitutional Court (Bundesverfassungsgericht ). Nilai kesejarahan itu juga berkorelasi dengan kewenangan yang menjadi yurisdiksi sebuah mahkamah konstitusi. 594 Dalam hal kewenangan sengketa hasil Pemilu, maka penyelesaian di sebuah lembaga peradilan, terutama mahkamah konstitusi, juga tidak lepas dari faktor kesejarahan. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, misalnya, memiliki kewenangan tersebut juga tidak lepas dari catatan kesejarahan mengenai fiburuknyafl wajah Pemilu Indonesia. Karut marut hasil Pemilu tidak berujung kepada penyelesaian secara hukum. Sehingga legitimasi hasil Pemilu seringkali dipertanyakan. Terdapat pula lembaga peradilan di Meks iko yang memiliki ke wenangan melakukan telaah terhadap hasil Pemilu. 595 Bunderverfassunggericht Jerman juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan pertikaian hasil Pemilu. 596 Sedangkan perselisihan hasil Pemilu ( disputed election ) di Australia diselesaikan melalui High Court. Dalam hal tertentu High Court ju ga dapat menyerahkan penyelesaiannya kepada Supreme Court pada Negara bagian tertentu, tempat dimana perselisihan itu terjadi. Banyak konsep penyelesaian perselisih an hasil Pemilu (PHPU) dalam sistem ketatanegaraan di dunia. Di Ukraina, persidangan terkait hasi akhir dari Pemilu merupakan kewenangan High Administrative Court (HAC) ya ng putusannya bersifat final. Namun terkait dengan segala keputusan dan/atau tindakan da ri Central Electoral Commission (KPU Ukraina), maka akan dihadapkan dalam persidangan di the Kyiv Administrative Court of Appeal (KACA). Di Amerika, penyelesaian perselisihan has il Pemilu baru menjadi pembicaraan publik ketika kasus hasil Pemilu Presiden 2000. Hasil Pemilu antara Bush versus Gore tersebut menjadi diskursus yang berkepanjangan di Amerika. Namun efek positifnya, masyarakat Amerika 594 Peter Haberle, Role and Impact of Constitutional Court in a Comparative Perspective, www.ssrn.com ,, diunduh pada Senin, 26 April 2010, pu kul. 21.00 WIB., hal. 69. 595 Ibid, hal. 70. 596 www.en.wikipedia.org/wiki/Federal _Constitutional_Court_of_Germany . diunduh pada Minggu, 25 April 2010, Pukul 15.00 WIB. 217

PAGE – 6 ============
memikirkan kemudian bagaimana sebuah sengketa hasil Pemilu. Steven F. Huefner menyebutkan mengenai arti penting sengketa te rsebut. Selengkapnya menurut Huefner terkait hal tersebut; One unmistakable impact of the incredibly cl ose 2000 presidential race and the dramatic litigation over its outcome is that the American public now pays substantially more attention to how state conduct their electi on. Much of this attention has focused Πproperly- on adopting reforms to avoid the kinds of problems that famously plagued Florida in 2000, whether in matters of ballot design, voting technologies, or recount procedures .597 Dalam perspektif Huefner penyebab timb ulnya permasalahan hasil Pemilu dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu; 1. Fraud. Kecurangan hasil suara bisa saja diseba bkan dari para kandidat yang curang, dimana mereka memiliki keinginan dan ke sempatan untuk melakukan kecurangan tersebut. Hal itu juga bisa dilakukan oleh penghitung suara dan petugas-petugas Pemilu lainnya yang memiliki kesempat an yang memudahkan mereka untuk melakukannya; 598 2. Mistake. Kekhilafan yang dilakukan oleh petugas Pemilu. Kesalahan dari petugas tersebut tidak akan menjadi permasalahan besar apabila bisa dibenahi sebelum Pemilu atau melalui proses penghitungan sementara atau melalui sebuah proses penghitungan ulang; 599 3. Non-fraudulent misconduct . Perbuatan ini bukan merupakan kecurangan dalam Pemilu, melainkan tindakan yang dapat menimbulkan turunnya kepercayaan publik kepada hasil dari Pemilu. Misalnya dicontohkan oleh Heufner, sekelompok calon sengaja melakukan tindakan memecah suara calon lain agar calon tertentu meningkat perolehan suaranya. 600 4. Extrinsic events or acts of God . Penyebab lain timbulnya permasalahan dalam hasil Pemilu adalah terdapatnya peristiwa alamiah ( acts of God) diluar kemampuan manusiawi petugas administrasi Pemilu. Heufner mencontohkan terjadinya Badai Katrina di New Orleans yang memengaruhi Pemilu lokal satu bulan setelahnya. Bahkan, menurut Heufner, saat bersamaan ketika terjadi serangan 11 September 2001 di menara kembar dilaksanakan pula Pemilu Negara Bagian New York. 601 Peradilan dalam banyak contoh di atas menjadi institusi yang dipercaya mampu menyelesaikan persengketaan yang timbul diakib atkan perselisihan hasil Pemilu. Robert A. Carp, Ronald Stidham, dan Kenneth L. Manning mempercayai dalam konteks politik hukum di 597 Steven F. Huefner, Remedying Election Wrongs, www.ssrn.com , diunduh pada Senin, 26 April 2010, Pukul 21.00 WIB. 598 Ibid. 599 Ibid. 600 Ibid. 601 Ibid. 218

PAGE – 8 ============
dua partai atas hasil Pemilu yang memenangkan Golongan Karya (Golkar) berakhir ketika Presiden memberikan rekomendasi ke pada Mendagri selaku Ketua LPU. 604 Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 yang merupakan pesta demokrasi pertama pascareformasi memiliki sengketa Pe milu yang melibatkan 27 (dua puluh tujuh) partai politik dari 48 (empat puluh delapan) partai politik yang menjadi kontestan Pemilu. Hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU ditolak oleh 27 partai dengan alasan tidak melalui proses yang menggambarkan diterapkannya asas jujur dan adil. Sengketa tersebut kemudian diserahkan oleh Presiden kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), namun oleh Panwaslu hasil penghitungan tersebut dianggap telah sah yang kemudian ditetapkan oleh Presiden. Sengketa tersebut juga dibawa ke Mahkamah Agung (MA) sebagai satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman ketika itu, akan tetapi oleh MA gugatan tersebut ditolak dikarenakan MA berpendapat yang berhak menentukan sah atau tidaknya hasil Pemilu berada di tangan Panwaslu. 605 Permasalahan Pemilu di Indonesia pada dasarnya juga meliputi beberapa hal, yaitu: 1. Tindak pidana Pemilu; 2. Pelanggaran administrasi Pemilu; 3. Sengketa yang timbul dalam penyelengaraan Pemilu; dan 4. Perselisihan hasil Pemilu Tindak pidana Pemilu diselesaikan melalui proses hukum pidana dan hukum acara pidana. Walaupun, sebagaimana dikemukakan oleh Topo Santoso, tidak terdapat pengertian yang jelas dalam peraturan perundang-undangan yang mendefenisikan apa itu tindak pidana Pemilu.606 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bertindak sebagai pihak yang mengumpulkan bukti-bukti pidana Pemilu yang kemudian akan menyerahkan kepada pihak kepolisian. 607 Apabila kepolisian kemudian menemukan cukup bukti, maka perkara tersebut akan diserahkan kepada pihak kejaksaan. Sebagaimana kasus pidana lainnya, maka perkara tersebut melalui kejaksaan akan dilimpahkan kepada peradilan. 604 Ibid, hal. 157. 605 Ibid. hal 157-158. 606 Topo santoso, Tindak Pidana Pemilu , (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006), hal. 1 607 Bandingkan dengan Tim Peneliti Perludem, Efektivitas Panwas: Evaluasi Pengawasan Pemilu 2004 , (Jakarta: Perludem, 2006), hal. 47. 220

PAGE – 9 ============
Terkait pelanggaran administrasi Pemilu, akan diserahkan kepada KPU/KPUD dengan dibantu oleh data-data dari Bawaslu dan/atau Panwaslu. Dalam hal ini Bawaslu dan Panwaslu hanya berfungsi mengurai data-data terkait pelanggaran administrasi. Mengenai sengketa yang timbul dalam penyelengaraan Pemilu diserahkan penyelesaiannya kepada Bawaslu dan Panwaslu . Permasalahan hukum tersebut satu-satunya yang diserahkan kepada Bawaslu dan Panwaslu untuk menyelesaikannya. Namun dikarenakan lembaga Bawaslu dan Panwalu bukanlah lembaga peradilan, maka seringkali putusan- putusannya tidak dipatuhi oleh banyak pihak-pihak yang bersengketa. Terhadap perselisihan hasil Pemilu, sebagaimana ditentukan UUD 1945, maka diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. Terhadap hal tersebut diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. D. Penyelesaian PHPU Sebagai Sengke ta Konstitusionalitas Pemilu Perkembangan bentuk perselisihan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi juga tidak sekedar terkait penentuan angka-angka hasil Pemilu yang diperoleh kontestan Pemilu, melainkan juga terkait dengan kualitas pelaksanaan Pemilu. Mahkamah Konstitusi akan juga menilai substansi pelaksanaan Pemilu. Akan dilihat pelaksana Pemilu sudah mampu menjawantahkan asas-asas Pemilu, Luber dan Jurdil, atau asas-asa tersebut diabaikan saja. Asas Luber (lansung, umum, bebas, dan rahasi a) dan Jurdil (jujur dan adil) adalah asas Pemilu yang ditentukan konstitusionalitasny a dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi pada dasarnya bertekad menegakkan keadilan substantive, sehingga apabila pelaksanaan Pemilu bermasalah maka Mahkamah Konstitusi dapat pula memerintahkan penyelenggara Pemilu untuk melakukan pe nghitungan ulang atau Pemilu ulang. Perkembangan putusan persidangan dari yang sekedar hanya mengkaji mengenai kuantitatif (angka-angka hasil Pemilu) yang kemudian juga mempermasalahkan kualitatif (terpenuhinya asas-asas konstitusionalitas) dari pelaksanaan Pemilu pada mula terdapat dalam perkara Nomor 062/PHPU-B-II/2004. Perkara yang diajukan oleh Pasangan calon Presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada Pe milu 2004 tersebut menjelaskan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi juga melindungi asas -asas konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu. Selengkapnya Mahkamah berpendapat sebagai berikut; 221

PAGE – 10 ============
Menimbang bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pemilu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD 1945 yang intinya menentukan bahwa Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, be bas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri–Menimbang bahwa berbagai hal yang bersifat kualitatif yang didalilkan oleh Pemohon sebenarnya telah disediakan mekanisme penyelesaiannya oleh UU Pilpres, baik pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu , mulai dari pendaftaraan pemilih sampai dengan penetapan hasil Pemilu, maupun pada setiap jenjang penyelenggaraa Pemilu, mulai dari KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Ko ta, KPU Provinsi sampai KPU. Mekanisme dimaksud akan berjalan apabila peserta Pemilu mengajukan keberatan yang harus mendapat tanggapan dan ditangani oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), KPU, dan aparat penyidik–menimbang bahwa kedudukan Mahkamah dalam sengketa Pemilu bukanlah sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remedies , melainkan sebagai lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang ditetapkan dan diumumkan oleh KPU [vide Pasal 85 dan Pasal 68 UU Pilpres, juga Pasal 74 ayat (2) huruf b dan Pasal 75 UUMK), sehingga memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu angka signifikan hasil akhir Pemilu. Sedangkan yang bersifat kualitatif akan menjadi perhatian ( concern ) Mahkamah hanya apabila prinsip- prinsip Pemilu yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagaimana telah dikemukakan di atas dilanggar. 608 Menurut Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilu, Mahkamah bukan hanya sebagai lembaga peradilan banding atau kasasi dari berbagai sengketa yang terkait Pemilu yang sudah disediakan mekanisme penyelesaiannya dalam bentuk sectoral and local legal remedies (penyelesaian hukum lokal dan sektoral) yang terkait pidana Pemilu dan sengketa administrasi Pemilu semata. Mahkamah Konstitusi dalam hal sengketa Pemilu merupakan lembaga peradilan pada tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan hasil Pemilu, sehingga memang berkaitan dengan hal yang bersifat kuantitatif, yaitu selain menyelesaikan sengketa terkait dengan angka signifikan hasil akhir Pemilu juga Mahkamah juga mengadili konstitusionalitas pelaksanaan Pemilu. Sehingga terkait dengan perkara yang bersif at melanggar kualitatif Pemilu akan menjadi perhatian ( concern ) Mahkamah hanya apabila prinsip-prinsip Pemilu yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 dilanggar. Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 062/PHPU-B-II/2004 menyatakan bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi berkewajiban menjaga agar secara kualitatif Pe milu berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip 608 Putusan MK Nomor 062/ PHPU-B-II/2004, hal 38. 222

PAGE – 11 ============
yang telah digariskan oleh Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 yang intinya menentukan Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Itu sebabnya dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi terdapat perintah kepada pelaksana Pemilu (KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, KIP Aceh) untuk melaksanakan penghitungan ulang atau bahkan Pemilu ulang apabila Mahkamah berpendapat asas-asas tersebut telah dilanggar. E. Macam-Macam Perselisihan Hasil Pemilu Perselisihan hasil pemilihan umum yang disida ngkan di Mahkamah Konstitusi baru dikenal dalam ketatanegaraan di Indonesia pasca terjadinya perubahan UUD 1945. Sebelumnya sengketa yang berkaitan dengan hasil pemilihan umum berupa pidana Pemilu diselesaikan di melalui peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kewenangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sebagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) lainnya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kemudian kewenangan tersebut diturunkan dalam Pasa l 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Pasal 10 ayat (1) UU MK memuat ketentuan sama persis dengan ketentuan yang termaktub dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (1) UU MK berbunyi: fiMahkamah Konstitusi berwenang mengadili pa da tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum .fl Sesuai dengan Pasal 22E UUD 1945, pem ilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu dengan sendirinya perselisihan has il pemilu meliputi ketiga jenis pemilu tersebut, yaitu pemilu anggota DPR dan DPRD, pemilu anggota DPD, serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur pula dalam Pasal 74 ayat (2) UU MK. Namun dalam telah terjadi perkembangan cakupan pengertian pemilu yang dengan sendirinya menentukan jenis perselisihan hasil pemilu yang menjadi wewenang MK. 223

117 KB – 35 Pages